STSD-20

kembali ke STSD-19 | lanjut ke STSD-21

 

 

Bagian 1

Ketika rombongan itu telah semakin dekat, tampak semua orang di dalam rombongan itu mengerutkan kening masing-masing. Tidak ada seorang pun yang merasa pernah mengenal wajah itu. Sebuah wajah yang kasar dan tampak sedikit liar dengan kumis dan jambang yang tidak terawat sama sekali. Sepasang matanya tampak bagaikan sepasang mata burung hantu yang siap menerkam mangsanya. Baju dan kain panjangnya pun tampak lusuh. Sementara ikat kepalanya terkesan hanya disangkutkan begitu saja di kepalanya yang berambut panjang tak terawat.

“Ki Gede mengenal orang itu?” bisik Ki Rangga kemudian tanpa berpaling.

Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian juga dengan berbisik, “Tidak banyak orang padukuhan Klangon yang aku kenal, hanya Ki Dukuh dan beberapa bebahunya saja.”

“Mungkin para pengawal itu mengenalnya Ki Gede,” lanjut Ki Rangga kemudian sambil tetap mempertahankan laju derap kudanya.

“Mungkin, Ki Rangga,” sahut Ki Gede.

Namun ketika pemimpin tanah perdikan Matesih itu kemudian berpaling ke belakang dan memberi isyarat ke arah dua orang pengawal Matesih yang berkuda di belakang Ratri dan Ki Bango Lamatan, keduanya pun tampak juga menggelengkan kepala mereka.

“Tidak ada satu pun di antara kita yang mengenalnya,” berkata Ki Gede selanjutnya yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh Ki Rangga.

“Baiklah, aku rasa kita tidak mempunyai masalah dengan orang itu,” desis Ki Rangga kemudian tanpa mengurangi laju kudanya, “Kita jalan terus.”

“Ya, Ki Rangga. Kita jalan terus,” Ki Gede ikut menimpali.

Ketika Ki Rangga sempat berpaling ke belakang kearah Ki Bango Lamatan, tampak pengawal khusus Pangeran Pati Mataram itu pun menganggukkan kepalanya tanda setuju. Sementara Ratri hanya menatap kosong ke arah Agul Agulnya Mataram itu.

Demikianlah rombongan itu pun memutuskan untuk tetap meneruskan perjalanan mereka.

Dalam pada itu di rumah Ki Dukuh Klangon, tampak beberapa orang sedang duduk-duduk di pendapa. Beberapa orang lainnya tampak hilir mudik keluar masuk rumah Ki Dukuh melalui pintu pringgitan yang terbuka. Bahkan ada satu dua orang yang menyusur gandhok kanan maupun kiri.

“Ki Dukuh memang sudah gila!” geram seorang yang berperawakan tinggi besar dan berjambang lebat sambil keluar dari pringgitan. Dibantingnya pintu pringgitan itu sehingga terdengar suaranya yang berderak derak.

“Bersembunyi di mana engkau, Ki Dukuh? Kalau ketemu kucekik lehermu sampai mampus!” teriak orang itu kemudian sambil melangkah ke pendapa.

“Sudahlah Srenggi!” sahut salah seorang yang tampak sudah sepuh namun terlihat sangat garang di antara mereka yang duduk di pendapa. Wajahnya sekilas tampak seperti seekor singa tua yang dipenuhi jambang dan kumis yang sudah berwarna putih bercampur coklat kemerahan. Rambutnya yang panjang sampai punggung dibiarkan saja terurai. Sementara ikat kepala yang berwarna lurik itu terlihat seperti hanya disangkutkan begitu saja di kepalanya.

“Tanyakan saja kepada para pengawal itu. Mungkin mereka tahu kemana perginya Ki Dukuh,” berkata orang yang sepuh itu kemudian dengan suara yang bagaikan geraman seekor singa.

“Baik guru,” jawab orang yang dipanggil Srenggi itu kemudian sambil melangkah lebar menuju ke regol depan.

Melihat orang tinggi besar berjambang lebat yang dipanggil Srenggi itu melangkah ke arah regol, tak urung para pengawal itu pun menjadi berdebar debar.

“Nah,” berkata Srenggi kemudian sesampainya dia di hadapan empat orang pengawal yang berdiri dengan kaki gemetaran, “Menjelang dini hari tadi, ketika kami datang, kalian telah mencegah kami untuk membangunkan Ki Dukuh. Kalian menawarkan kami untuk beristirahat di gandhok kanan,” Srenggi berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Sekarang Matahari sudah hampir terbit dan Ki Dukuh sama sekali tidak tampak batang hidungnya. Apa maksud kalian, he?!”

Suara Srenggi yang semakin lama semakin tinggi dan diakhiri dengan bentakan keras itu telah membuat jantung keempat pengawal itu semakin terguncang.

Namun salah seorang segera memberanikan diri maju selangkah sambil membungkuk dalam-dalam. Katanya kemudian dengan suara sedikit bergetar, “Maaf Ki Srenggi. Kami hanya bertugas menjaga keamanan sekitar kediaman Ki Dukuh ini. Kami tidak tahu menahu kemana perginya Ki Dukuh.”

Mata Srenggi yang sudah merah darah itu semakin membelalak. Namun sebelum dia akan berbuat lebih jauh, terdengar salah satu pengawal yang bertubuh kurus menyeluthuk, “Maafkan kami Ki Srenggi. Kami memang hanya bertugas menjaga kediaman Ki Dukuh ini. Kami benar-benar tidak tahu menahu kegiatan yang dilakukan oleh Ki Dukuh. Namun satu hal yang dapat Ki Srenggi jadikan pegangan, kami yang bertugas khusus di kediaman Ki Dukuh ini adalah para pengikut Ki Dukuh yang telah bersetia kepada Trah Sekar Seda Lepen.”

Mendengar nama Trah Sekar Seda Lepen disebut, sejenak Srenggi tertegun. Tanpa sadar dipandanginya satu persatu keempat pengawal yang berdiri di hadapannya itu.

“Mengapa kalian tidak ikut melarikan diri bersama Ki Dukuh yang pengecut itu?” bertanya Srenggi kemudian dengan nada tinggi, “Apakah kalian mengira akan selamat jika pagi ini Ki Gede Matesih akan datang ke padukuhan ini bersama pasukan pengawal segelar sepapan untuk meluluh lantakkan padukuhan Klangon?”

Untuk beberapa saat keempat pengawal itu hanya saling pandang. Namun pengawal yang bertubuh kurus itulah yang kemudian menjawab, “Pada dasarnya kami siap menunggu perintah Ki Dukuh. Jika Ki Dukuh mengajak kami, kami pun akan ikut.”

“Tetapi pada kenyataannya, pemimpin yang kalian agung agungkan itu kini justru telah meninggalkan kalian,” sergah Srenggi tetap dengan nada tinggi, “Nah, apa kata kalian sekarang?”

Kembali keempat pengawal itu hanya dapat saling pandang. Kini hati mereka benar-benar menjadi gelisah. Dengan perginya Ki Dukuh dan keluarganya tanpa sepengetahuan mereka, nasib mereka seakan sudah pasti, menjadi bulan bulanan pasukan pengawal Matesih yang mungkin akan segera datang.

“Jangan khawatir,” tiba-tiba suara Srenggi melunak, “Kami akan tetap di sini sambil menunggu perkembangan. Dua orang telah aku kirim untuk mengamati keadaan di jalan-jalan seperti yang telah kalian sarankan. Karena aku mempunyai perhitungan bahwa pagi ini Ki Gede Matesih pasti akan menyerbu padukuhan Klangon untuk menangkap Ki Dukuh.”

Meremang bulu kuduk keempat pengawal itu. Hati mereka mulai dijalari rasa bimbang. Kepergian Ki Dukuh dan keluarganya yang tanpa pamit itu telah menggoncangkan hati mereka.

“Nah, kita tunggu saja berita dari Badra Brewok atau Mranggi yang aku tugaskan untuk mengamati kedua jalur jalan keluar dari Matesih,” Srenggi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sesuai saran yang telah kalian berikan.”

Keempat pengawal itu tidak menanggapi. Hanya tampak kepala mereka yang terangguk angguk.

“Semoga Ki Gede Matesih berubah pikiran dan tidak jadi menyerbu padukuhan Klangon,” berkata Srenggi selanjutnya, “Sehingga kami akan aman untuk sementara tinggal di rumah Ki Dukuh ini sambil mengamati keadaan.”

“Apakah rombongan Ki Srenggi tidak memutuskan untuk kembali ke lereng gunung Arjuna saja?” tiba-tiba pengawal yang berbadan kurus itu bertanya.

Sejenak Srenggi terdiam. Namun sambil menggeleng dia menjawab, “Aku tidak tahu. Semuanya terserah guru.”

Keempat pengawal itu hanya dapat mengangguk anggukkan kepala mereka dengan hati yang berdebar debar.

“Sudahlah Srenggi!” kembali terdengar orang yang sudah sepuh dan dipanggil guru itu berkata setengah berteriak, “Mereka sudah memberikan keterangan sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Sapta Dhahana sudah jatuh dan belum terdengar lagi kabarnya. Ki Dukuh juga telah raib entah kemana. Sebaiknya kita memantau keadaan sambil beristirahat di tempat ini!”

Srenggi tampak menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak dalam dadanya mendengar kata-kata gurunya. Katanya kemudian kepada keempat pengawal itu, “Jika kalian memang telah bersumpah setia kepada Trah Sekar Seda Lepen, kalian harus membantu kami. Keterangan sekecil apapun tentang Matesih dan Ki Rangga Agung Sedayu beserta kawan kawannya, harus segera kalian sampaikan kepada kami.”

Kembali keempat pengawal itu menganggukkan kepala mereka, sedangkan Srenggi pun kemudian dengan langkah lebar meninggalkan gardu penjagaan depan. Setelah menaiki tlundak pendapa, Srenggi pun kemudian bergabung dengan mereka yang telah terlebih dahulu duduk di pendapa.

“Apakah tidak ada minuman hangat dan sepotong makanan pun yang dapat untuk mengganjal perut?” bertanya orang yang dipanggil guru itu kemudian sambil memandang ke arah murid-muridnya.

“Guru, aku tadi melihat di dapur ada ketela dan umbi-umbian di atas amben,” sahut salah seorang cantriknya yang berwajah bulat dan bertubuh gemuk, “Kita bisa memasak jika guru menghendaki.”

“Pergilah ke dapur,” sahut Srenggi dengan serta merta sambil berpaling ke arah cantrik itu, “Dua orang dapat memasak air dan merebus ketela. Lumayan untuk sekedar mengganjal perut.”

Serentak cantrik bertubuh gemuk itu serta seorang cantrik yang duduk di sebelahnya segera bangkit berdiri dan masuk ke dalam rumah.

“Ternyata kita telah terlambat,” desis orang yang dipanggil guru itu sepeninggal kedua orang muridnya yang pergi ke dapur, “Menurut cerita pengawal kepadamu dini hari tadi ketika kita datang, Sapta Dhahana telah jatuh dan sampai sekarang belum ada beritanya.”

“Guru,” berkata Srenggi kemudian menanggapi, “Jika diijinkan aku akan ke Matesih mencari orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu. Akan aku tantang dia untuk berperang tanding. Aku tidak percaya jika Kiai Damar Sasangka yang sakti mandraguna itu bisa dikalahkan oleh orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Jangan gegabah, Srenggi,” geram gurunya, “Jika engkau memasuki Matesih sekarang juga, engkau akan diburu beramai ramai seperti para pemburu memburu binatang buruannya. Matesih sekarang sedang mempunyai kepercayaan diri yang sangat tinggi setelah mereka mampu menjatuhkan Sapta Dhahana walaupun sebenarnya Ki Rangga dan kawan kawannya itulah sebenarnya yang berperan sangat penting, setidaknya itu menurut ceritamu dari para pengawal yang jaga semalam.”

Tampak Srenggi menarik nafas dalam-dalam mendengar penjelasan gurunya. Ingatannya pun segera melayang ke waktu menjelang dini hari tadi ketika mereka datang ke rumah Ki Dukuh. Lima belas orang berkuda datang menjelang dini hari tentu saja sangat mengejutkan para pengawal yang menjaga kediaman Ki Dukuh Klangon.

“Siapakah para Ki Sanak ini?” bertanya salah seorang pengawal yang sedang jaga saat itu setelah orang-orang berkuda itu turun dari kuda masing-masing.

“Kami dari perguruan Singo Barong,” jawab gurunya pada saat itu dengan wajah dibuat seramah mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan, “Kami datang jauh-jauh dari lereng gunung Arjuna atas undangan Ki Dukuh.”

Sejenak pengawal itu termenung. Jawabnya kemudian, “Silahkan duduk-duduk di pendapa terlebih dahulu atau jika para Ki Sanak ingin beristirahat, kalian dapat menggunakan gandhok kanan. Kami mohon maaf sebesar besarnya jika Ki Dukuh belum dapat menyambut pada waktu seperti ini. Biarlah hal ini akan kami laporkan setelah Matahari terbit dan Ki Dukuh sudah bangun.”

 

Alasan itu memang masuk akal sehingga dini hari tadi, setelah menambatkan kuda-kuda itu di patok-patok di halaman samping kanan, rombongan dari perguruan Singo Barong yang berjumlah lima belas orang itu segera menempati gandhok kanan untuk beristirahat. Namun Srenggi yang tidak merasa mengantuk telah berbincang dengan para pengawal di gardu depan.

Dari perbincangan itulah dia mendapat berita bahwa Sapta Dhahana telah jatuh dan Kiai Damar Sasangka telah tewas di tangan Ki Rangga Agung Sedayu.

“Jadi Kiai Damar Sasangka telah tewas?” bertanya Srenggi dengan dada yang berdebaran. Berita tewasnya pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu baginya sangat tidak masuk akal.

“Benar Ki Srenggi,” jawab pemimpin pengawal jaga itu, “Kami sendiri juga tidak percaya jika hal itu dapat terjadi. Tetapi memang demikianlah kenyataan yang telah terjadi.”

“Gila!” geram Srenggi sambil menggeretakkan giginya dan mengepalkan kedua tangannya, “Jika guru mengijinkan, ingin rasanya aku sekarang juga pergi ke Matesih untuk mencari orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu.”

“Untuk apa?” seorang pengawal justru telah bertanya dengan nada ragu-ragu.

“Tentu saja untuk membunuhnya!” jawab Srenggi cepat, “Akan aku buktikan bahwa perguruan Singo Barong tidak dapat dipandang dengan sebelah mata!”

Tetapi sambutan para pengawal jaga di regol rumah Ki Dukuh itu justru telah mengejutkan Srenggi.

“Sebaiknya jangan, Ki Srenggi,” berkata pemimpin pengawal jaga itu kemudian, “Kemarin pagi juga telah jatuh korban karena perhitungan yang terburu nafsu.”

Srenggi mengerutkan keningnya. Tanya kemudian, “Apa maksudmu?”

Pemimpin pengawal itu menarik nafas sejenak. Jawabnya kemudian, “Tamu Ki Dukuh yang bernama Pertapa dari goa Langse beserta murid-muridnya juga telah menjadi korban kemarin pagi.”

“He?” jika ada seribu petir yang menyambar di atas kepala Srenggi saat itu, tentu dia tidak akan seterkejut mendengar berita dari pemimpin pengawal itu.

“Apa katamu? Pertapa goa Langse menjadi korban?” bertanya Srenggi kemudian dengan serta merta.

“Ya. Benar Ki,” jawab pemimpin pengawal itu. Kemudian dia segera menceritakan berita yang didengarnya sore tadi bahwa tamu Ki Gede yang bernama Pertapa dari goa Langse dan murid-muridnya telah tidak kembali ke rumah Ki Dukuh lagi. Bahkan berita terakhir yang didengarnya, Pertapa goa Langse itu telah tewas dan dimakamkan siang kemarin.”

“Aku harus memberitahu guru!” geram Srenggi kemudian sambil bergegas meninggalkan regol.

“Guru,” tiba-tiba terdengar suara seseorang membangunkan lamunan Srenggi, “Jika guru meragukan kemampuan kakang Srenggi sendirian menghadapi Ki Rangga, bagaimana jika kami bertiga, kakang Srenggi, aku dan adi Gentho yang menantang Ki Rangga Agung Sedayu? Aku kira kekuatan kami bertiga jika digabung akan dapat mengatasi Agul Agulnya Mataram itu.”

Untuk sejenak gurunya terpekur. Berbagai pertimbangan pun hilir mudik di dalam benaknya.

“Aku belum mengetahui kekuatan sebenarnya yang tersimpan dalam diri orang yang bernama Agung Sedayu murid orang bercambuk itu,” berkata gurunya kemudian, “Sejauh pengetahuanku, beberapa nama yang kondang kawentar telah dikalahkannya. Ajar Tal Pitu yang mampu membelah diri menjadi tiga dengan aji kakang kawah adi ari-ari, Manohara yang mampu meledakkan sasarannya dengan aji petirnya, Panembahan Cahya Warastra yang dapat bertiwikrama menjadi raksasa sebesar bukit, dan terakhir Kiai Damar Sasangka yang kabarnya sudah kalis dari pati namun pada akhirnya dapat dikalahkan juga oleh Ki Rangga Agung Sedayu,” gurunya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan berita terakhir dari para pengawal jaga, Pertapa goa Langse pun telah menjadi korban, bukan oleh Ki Rangga, akan tetapi justru oleh adik sepupunya.”

Sejenak suasana menjadi sunyi, mereka masing-masing tampak sedang merenungi keterangan gurunya itu.

“Alangkah dahsyat dan tingginya ilmu Ki Rangga itu,” berkata hampir semua cantrik dan putut yang ada di pendapa itu dalam hati, “Lawan-lawannya masing-masing mempunyai ilmu yang aneh dan nggegirisi namun semua dapat dijinakkan dan pada akhirnya tunduk dengan kemampuan Ki Rangga.”

“Guru,” berkata Srenggi kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Jika orang-orang yang telah guru sebutkan tadi masing-masing mempunyai ilmu yang dahsyat dan nggegirisi serta sudah jarang kita jumpai saat ini, bagaimanakah sebenarnya ilmu Ki Rangga sendiri? Ilmu apakah yang telah membuatnya begitu sekti mandraguna ora tedas papak palune pandhe sisane gurinda?”

Serentak semua mata pun tertuju ke arah guru mereka. Masing-masing menunggu keterangan apa saja tentang diri Ki Rangga dari guru mereka.

Gurunya menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab. Tampak kerut merut di wajah orang tua itu pun semakin dalam. Jawabnya kemudian sambil menegakkan punggungnya, “Aku tidak bisa memerinci satu persatu ilmu yang telah dikuasai oleh Ki Rangga. Namun yang aku dengar, perguruan bercambuk adalah perguruan turun temurun dari jaman ketika kerajaan Majapahit masih berdiri tegak. Salah satunya adalah perguruan Windujati,” orang tua itu berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Kalian tidak usah bertanya ilmu apa saja yang menjadi ciri perguruan Windujati. Kalian akan melihat bagaimana Ki Rangga sebagai murid utama orang bercambuk itu dalam memainkan cambuknya dengan sangat sempurna. Selain itu aku juga mendengar bahwa murid utama orang bercambuk itu juga bisa membelah diri menjadi tiga seperti aji kakang kawah dan adi ari-ari yang menjadi ciri perguruan Tal Pitu, menciptakan kabut yang tidak tembus pandang dan juga mempunyai ilmu kebal yang sulit untuk ditembus oleh ilmu lawan, baik serangan tangan kosong maupun yang menggunakan senjata tajam.”

Suasana benar-benar menjadi sunyi. Murid-murid perguruan Singo Barong seolah tersihir oleh penjelasan gurunya.

“Dan yang lebih dahsyat lagi,” berkata pemimpin perguruan Singo Barong itu selanjutnya, “Ki Rangga Agung Sedayu mempunyai sejenis ilmu yang aneh dan nggegirisi. Ki Rangga mampu mengungkapkan puncak ilmunya melalui sorot matanya.”

“He?!” semua orang yang berada di pendapa itu terkejut bukan alang kepalang. Ilmu yang mampu diungkapkan melalui sorot mata konon kabarnya hanya terdapat dalam cerita-cerita babat dan pewayangan. Mereka belum pernah mendengar apalagi mengalami sendiri kedahsyatan ilmu sorot mata itu.

“Betapapun seseorang itu mampu bergerak secepat tatit yang meloncat di udara,” membatin Srenggi dalam hati kemudian, “Namun tidak mungkin akan mampu menandingi kecepatan gerak sebuah sorot mata. Kemana pun seseorang itu bergerak, dengan kecepatan setinggi apapun, pasti lebih cepat dari gerakan sebuah sorot mata.”

Diam-diam Srenggi bergidik ngeri. Benar-benar sebuah ilmu langka yang belum pernah didengar dan dialaminya sendiri.

Demikian lah ternyata uraian panjang lebar gurunya itu telah membuat murid-muridnya membeku. Jika keterangan gurunya itu benar atau setidaknya mendekati kebenaran, alangkah dahsyat ilmu orang yang namanya sudah kawentar kajalandriya di seluruh tlatah Mataram itu?

“Guru,” akhirnya Srenggi tidak dapat menahan diri lagi. Maka tanyanya kemudian, “Jika benar Ki Rangga memiliki ilmu yang sedahsyat itu, apakah perguruan kita mempunyai bekal untuk dapat menghadapinya?”

Gurunya tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Jika kalian bertiga saja, aku yakin Ki Rangga masih belum menemui kesulitan untuk menundukkan kalian. Namun jika aku ikut bergabung di dalamnya, aku yakin kita berempat akan dapat menundukkannya walaupun harus disertai dengan perjuangan yang cukup berat dan tentu saja harus disertai dengan sebuah siasat.”

Serentak mereka yang hadir di pendapa itu terangguk angguk. Memang mengalahkan seorang lawan yang pilih tanding tidak harus dengan benturan ilmu saja. Gurunya beranggapan bahwa siasat dan kecerdikan itu sangat diperlukan walaupun kadang dengan menggunakan cara yang sedikit licik dan menipu.

Sejenak suasana menjadi sepi. Sementara itu Matahari masih belum benar-benar terbit, namun cahayanya yang membias mega-mega di langit timur sudah mulai membuat alam sekitarnya menjadi terang.

“Jika kita benar-benar akan berhadapan dengan Ki Rangga Agung Sedayu, kalian bertiga mempunyai tugas untuk memecah perhatiannya,” berkata gurunya selanjutnya memecah kesepian, “Ketika aku mendengar Agul Agulnya Mataram itu telah berhasil membunuh Panembahan Cahya Warastra yang mampu berubah menjadi raksasa sebesar bukit dengan aji brahala wurunya, aku mendengar bahwa raksasa itu tewas menjadi seonggok pecahan tulang dan serpihan daging terkena ilmu sorot mata Ki Rangga.”

Semua murid yang mendengar keterangan gurunya itu menjadi bergidik ngeri. Mereka hanya dapat membayangkan kedahsyatan dan kekuatan yang dipancarkan melalui sorot mata itu.

“Bukit pun akan runtuh dan gunungpun akan jugrug,” membatin murid-murid Singo Barong itu. Hampir setiap dada pun telah bergetar.

“Ketika perguruan Sapta Dhahana menjalin hubungan dengan Trah Sekar Seda Lepen, dan Ki Dukuh Klangon ini menjadi perantara untuk bergabung dengan Sapta Dhahana, aku mulai memikirkan orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu,” berkata gurunya selanjutnya.

“Mengapa guru memikirkan orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu? Apakah orang itu ada hubungannya dengan perguruan kita?” bertanya Srenggi kemudian sambil menatap gurunya dengan pandangan penuh tanda tanya.

Gurunya tersenyum menanggapi pertanyaan murid utamanya itu. Jawabnya kemudian, “Perjuangan Trah Sekar Seda Lepen cepat atau pun lambat pasti akan terendus oleh para petugas sandi Mataram. Karena bagaimana pun juga, Trah Sekar Seda Lepen pasti akan dianggap sebagai pemberontak yang ingin menggulingkan Mataram.”

“Dan hubungannya dengan Ki Rangga?” sahut salah satu muridnya yang duduk di sebelah Srenggi.

Kembali gurunya tersenyum kearah salah satu muridnya itu. Jawabnya kemudian, “Ketahuilah Gentho, jika Mataram memutuskan untuk menghancurkan Trah Sekar Seda Lepen yang dianggap akan memberontak, tentu Ki Rangga Agul Agulnya Mataram itu yang akan ditugaskan, dan ternyata perhitunganku mendekati kebenaran. Hanya saja Ki Rangga tidak memimpin pasukan segelar sepapan dari Mataram, namun menggunakan para pengawal perdikan Matesih untuk menghancurkan Sapta Dhahana.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angan yang bermacam macam.

“Guru,” tiba-tiba seseorang yang duduk di sebelah Gentho bertanya, “Karena keadaan telah berkembang seperti ini, apakah tidak sebaiknya kita kembali ke lereng gunung Arjuna saja?”

“Tidak, Gandhung,” sahut gurunya cepat, “Kita perlu istirahat sejenak di rumah Ki Dukuh ini sambil mengawasi keadaan. Selain itu aku ingin mengetahui keberadaan Trah Sekar Seda Lepen itu sendiri. Berita yang kita terima hanya Sapta Dhahana telah jatuh dan Kiai Damar Sasangka telah tewas. Sementara keberadaan Trah Sekar Seda Lepen itu belum ada beritanya.”

Murid-murid perguruan Singo Barong yang hadir di pendapa itu pun tampak mengangguk anggukkan kepala mereka. Agaknya keinginan gurunya untuk bergabung dengan perjuangan Trah Sekar Seda Lepen setelah jatuhnya Sapta Dhahana belum padam. Gurunya ingin meyakinkan bahwa Trah Sekar Seda Lepen masih selamat dan akan membangun kekuatan lagi di masa mendatang.

“Apakah memang Wahyu Keprabon itu akan berpindah kepada Trah Sekar Seda Lepen?” pertanyaan itupun menghantui setiap kepala.

“Aku tahu kalian mungkin heran mengapa aku tetap akan mendukung Trah Sekar Seda Lepen?” bertanya gurunya kemudian demi melihat wajah-wajah muridnya sedikit menyimpan keraguan.

“Aku tahu kalian mungkin heran mengapa aku tetap akan mendukung Trah Sekar Seda Lepen?” bertanya gurunya kemudian…

“Ya guru,” jawab Srenggi dengan serta merta, “Kami semua belum mengerti alasan guru yang sebenarnya untuk mendukung orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu.”

Tampak gurunya menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk angguk. Katanya kemudian, “Trah Sekar Seda Lepen adalah trah yang memang seharusnya menduduki tahta di negeri ini. Orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu adalah trah dari Harya Mataram, adik Harya Penangsang yang telah tewas karena kelicikan Juru Mertani, orang dari Sela itu. Harya Penangsang dan Harya Mataram kakak beradik itu adalah putera Pangeran Surawiyata yang dibunuh secara licik oleh orang suruhan Prawata, anak Trenggana, agar tahta Demak yang seharusnya jatuh ke tangan Pangeran Surawiyata dapat berpindah kepada Trenggana. Prawata sampai hati berbuat licik dan tega menyuruh orang membunuh pamannya sendiri itu mempunyai pamrih agar ayahnya lah yang akhirnya menduduki tahta Demak, dan pada akhirnya suatu saat nanti tahta Demak akan dilintirkan kepada dirinya.”

Murid-murid perguruan Singo Barong itu tampak terpekur mendengar penuturan gurunya. Sejarah negeri ini memang telah carut marut dengan ketamakan dan kebusukan hati dalam merebut tahta dan kekuasaan. Kini merekapun sedang dihadapkan pada dua pilihan, mendukung Mataram ataukah mendukung Trah Sekar Seda Lepen.

“Jadi, Mataram sekarang menguasai negeri ini karena hasil tipu daya dan akal licik orang yang bernama Juru Mertani itu,” berkata gurunya selanjutnya, “Sekarang orang dari Sela itu sudah mukti wibawa dan memegang kekuasaan di seluruh Mataram. Siapapun yang menjadi Raja di Mataram, pada hakekatnya hanyalah sebagai Golek Kencana orang dari Sela itu. Dialah yang sebenarnya menjadi Raja tetapi tanpa mahkota. Padahal jika kita telisik, dia sama sekali tidak mempunyai trah kusuma rembesing madu. Dia hanya seorang pidak pedarakan. Seorang petani miskin dari keluarga miskin yang berasal dari padukuhan Sela.”

Penuturan gurunya itu sedikit banyak telah menggugah hati murid-muridnya. Wahyu keprabon harus dikembalikan kepada yang berhak, yaitu jalur dari Raden Patah sebagai pendiri kerajaan Demak Bintara.

“Nah, karena alasan itulah aku telah memantapkan diriku untuk bergabung dengan perguruan Sapta Dhahana yang telah menjalin kerja sama dengan Trah Sekar Seda Lepen,” lanjut pemimpin perguruan Singo Barong itu kemudian.

Tampak kepala murid-muridnya terangguk angguk. Sekarang mereka baru menyadari bahwa gegayuhan gurunya itu memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh dan pantang menyerah.

“Jadi, apa rencana kita selanjutnya, guru?” bertanya Srenggi kemudian setelah sejenak mereka terdiam.

Gurunya menggeser duduknya setapak sebelum menjawab pertanyaan murid utamanya itu. Jawab gurunya kemudian, “Seperti yang telah aku sampaikan beberapa saat tadi. Jika kita telah bergabung dengan Trah Sekar Seda Lepen dan kemudian benar-benar terjadi benturan dengan Mataram, aku sudah menyediakan diri untuk menghadapi Agul Agulnya Mataram itu.”

“Bagaimana dengan ilmu sorot matanya itu, guru?” bertanya Gandhung menyela kata-kata gurunya.

Gurunya tersenyum. Jawabnya kemudian, “Sudah lama sebenarnya aku memikirkan tentang ilmu Ki Rangga, terutama ilmu sorot mata itu. Kuncinya sebenarnya adalah ada pada kecepatan gerak. Kita akan menggunakan ilmu rahasia warisan perguruan kita turun temurun yang berlandaskan pada kecepatan bergerak. Ilmu rahasia itu memang harus ditrapkan dalam berkelompok untuk memancing lawan terjebak di dalam lingkaran yang sengaja kita ciptakan. Delapan langkah rahasia bintang beralih itulah yang akan kita gunakan untuk menjebak Ki Rangga,” gurunya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kalian bertiga bertugas memecah perhatiannya. Walaupun Ki Rangga dapat menggunakan ilmunya untuk memecah diri menjadi tiga, namun masih tersisa aku sendiri yang akan luput dari perhatiannya. Di saat dia terpecah perhatiannya itulah aku akan melibasnya dengan ilmu puncak perguruan kita. Belum ada seorang pun selama ini yang mampu selamat dari gempuran ilmu puncak perguruan kita.”

Kembali mereka terangguk-angguk. Hati mereka yang semula tinggal semenir telah berkembang kembali. Delapan langkah rahasia bintang beralih adalah ciri khas perguruan Singo Barong turun temurun yang sangat dahsyat dan belum ada orang yang mampu memecahkan rahasianya untuk keluar dari kepungan barisan bintang beralih dalam keadaan hidup. Mereka telah sering melatihnya bertiga bersama gurunya tanpa mengetahui maksud dan tujuannya.

“Selama ini guru melatih ilmu rahasia perguruan kita tanpa kenal lelah dan tanpa menyampaikan untuk tujuan apa. Ternyata guru memang sengaja menyiapkan khusus untuk menghadapi Agul Agulnya Mataram itu,” membatin Srenggi dalam hati sambil mengangguk angguk, “Memang ilmu itu dikembangkan dari sebuah gelar perang, gelar Cakra Byuha. Namun gelar ini hanya untuk sekelompok orang saja, paling banyak empat atau lima orang.”

Tiba-tiba suasana pagi yang tenang itu telah dipecahkan oleh suara raungan panah sendaren yang membelah langit padukuhan Klangon dua kali berturut turut. Serentak beberapa orang segera berloncatan turun dari pendapa.

“Agaknya Badra Brewok telah melihat sesuatu,” desis Srenggi yang tidak ikut turun ke halaman sambil mengamat amati langit yang baru saja terbelah dengan suara raungan panah sendaren dua kali berturut turut.

“Untunglah engkau berpikir cepat, Srenggi,” berkata gurunya sambil ikut mengamati langit dari tempat duduknya. Lanjutnya kemudian, “Berapa orang yang engkau tempatkan sebagai petugas sandi, Srenggi?”

“Aku hanya menempatkan dua orang, guru” jawab Srenggi kemudian, “Badra Brewok bertugas di jalur yang menghubungkan Matesih langsung dengan padukuhan Klangon, sedangkan Mranggi aku suruh menempati jalur yang mengarah ke kademangan Salam, sesuai dengan petunjuk para pengawal yang bertugas jaga dini hari tadi,” Srenggi berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Menurut keterangan pengawal jaga dini hari tadi, sudah ada perguruan yang datang ke tempat ini dan agaknya nasib mereka sangat jelek. Pertapa goa Langse itu mati terbunuh di halaman banjar padukuhan induk Matesih oleh adik sepupu Ki Rangga. Demikian berita yang tersebar kemarin. Maka aku telah menempatkan pengawas di jalur yang menghubungkan Matesih dengan padukuhan Klangon. Aku khawatir jika Ki Gede Matesih dan pasukannya pagi ini akan memasuki Klangon dan meluluh lantakkan padukuhan Klangon, terutama mereka tentu akan mencari Ki Dukuh.”

Tampak gurunya mengagguk angguk. Katanya kemudian, “Itulah agaknya mengapa Ki Dukuh telah hilang dari rumahnya,” gurunya berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Segera jemput mereka. Menilik panah sendaren yang dilepaskan Badra Brewok, orang-orang yang keluar dari perdikan Matesih itu berjumlah lebih dari dua orang namun bukan pasukan segelar sepapan. Siapapun mereka, kita tidak perduli. Agaknya memang sudah menjadi nasib mereka mati di halaman rumah Ki Dukuh ini,” gurunya berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian dengan desis yang sangat perlahan, “Sayang Ki Dukuh telah pergi. Agaknya Ki Dukuh menjadi sangat ketakutan setelah Pertapa goa Langse terbunuh di bajar Matesih. Kasihan Ki Dukuh.”

Srenggi yang mendengar desis perlahan gurunya itu hanya berpaling sekilas, namun tidak menanggapi. Segera saja dia memberi isyarat dengan mengangkat empat jarinya ke arah murid-murid perguruan Singo Barong yang telah bergerombol di halaman. Sejenak kemudian empat orang telah meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan berderap keluar halaman.

Dalam pada itu, Ki Rangga dan rombongan yang telah melewati orang yang sedang berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada itu sama sekali tidak menaruh curiga. Tampak dari sikapnya yang acuh, orang itu memang seolah olah tidak memperhatikan sama sekali terhadap rombongan berkuda yang lewat beberapa langkah di hadapannya.

Namun Ki Rangga yang mempunyai panggraita tajam segera melihat sebuah busur lengkap dengan endong berisi beberapa anak panah tergeletak di bawah pohon.

Ki Bango Lamatan pun ternyata juga telah melihatnya. Kedua orang itu menjadi berdebar-debar. Adalah hal yang tidak wajar jika di pagi yang masih berkabut itu ada orang berdiri di pinggir jalan dengan peralatan yang biasanya digunakan untuk berburu.

“Jika aku menjumpai orang seperti ini di pinggir hutan, tentu tidaklah aneh,” membatin Ki Rangga sambil mencoba mengamati wajah orang itu.

Agaknya orang itu pun tampaknya sedang memperhatikan Ki Rangga walaupun hanya sekilas. Namun yang sekilas itu ternyata telah membuat orang itu mengerutkan keningnya dalam-dalam.

“Siapakah dia?” pertanyaan itu menghantui benaknya, “Wajahnya begitu tenang berwibawa, tampan tapi sangat luruh dan sederhana namun mempunyai sorot mata yang sangat tenang bagaikan telaga yang tak berdasar. Siapakah dia sebenarnya?”

Tampak orang itu menarik nafas dalam-dalam sambil kembali melemparkan pandangan matanya ke arah rombongan berkuda itu. Namun kali yang diamatinya adalah Ki Gede Matesih.

“Yang berkuda di sebelah orang aneh itu sudah jelas Ki Gede Matesih,” membatin orang berewokan itu sambil pura-pura melemparkan pandangan matanya kembali jauh ke samping kiri, “Wajahnya yang terlihat masih cukup muda namun rambut hampir memutih semua, demikian gambaran yang diberikan para pengawal yang jaga di rumah Ki Dukuh Klangon tadi. Apalagi tombak bermata tiga yang disangkutkan di pelana kudanya, sudah tidak diragukan lagi jika orang itu adalah Ki Gede Matesih.”

Orang itu berhenti berangan-angan sejenak. Ketika dia kemudian mencoba meneliti wajah yang lain, orang itu pun menjadi semakin yakin jika rombongan itu adalah rombongan dari perdikan Matesih.

“Dua orang yang berkuda di belakang itu pasti para pengawal Matesih,” kembali orang itu bergumam dalam hati, “Menilik pakaian khusus yang digunakan. Namun aku tidak tahu siapakah yang lainnya? Pemuda yang sangat tampan itu mungkin putera Ki Gede Matesih. Namun terlalu tampan dan halus gerak geriknya untuk seorang laki-laki. Sedangkan orang tinggi besar dan berjambang itu kelihatannya tidak begitu menarik.”

Kembali orang itu berpura-pura melihat langit yang masih tertutup kabut tipis.

“Tapi kemanakah tujuan Ki Gede Matesih sepagi ini? Mengapa dia tidak membawa pasukan segelar sepapan untuk membumi hanguskan padukuhan Klangon?” kembali orang berewokan itu meneruskan angan-angannya.

“Ah, apa peduliku!” geram orang berewokan itu dalam hati kemudian, “Aku hanya ditugaskan oleh kakang Srenggi untuk menjaga jalur jalan dari Matesih ke padukuhan Klangon ini. Siapapun yang terlihat mencurigakan melewati jalur jalan ini harus dilaporkan. Tidak menutup kemungkinan ini adalah rombongan Ki Gede Matesih yang akan menangkap Ki Dukuh Klangon.”

Demikianlah setelah orang itu yakin rombongan berkuda yang lewat beberapa langkah di hadapannya itu adalah rombongan Ki Gede Matesih. Segera saja diraihnya busur dan dua anak panah yang tergeletak di bawah pohon.

Sejenak kemudian begitu rombongan itu telah lewat beberapa tombak jauhnya dari tempatnya berdiri, dua anak panah sendaren berturut turut segera tampak melesat ke udara. Segera saja udara yang tenang pagi itu telah dirobek oleh suara raungan panah sendaren dua kali berturut turut.

Alangkah terkejutnya Ki Gede Matesih dan rombongan. Serentak mereka segera berpaling ke belakang, ke arah tempat di mana orang berewokan tadi berdiri. Sementara suara raungan panah sendaren dua kali berturut turut telah menembus batas membangunkan padukuhan Klangon yang masih sepi.

Namun apa yang mereka jumpai kemudian adalah sangat mengejutkan. Orang berewokan yang telah melepaskan panah sendaren itu ternyata telah berlari menembus gerumbul dan perdu ke arah tebing sungai yang berada di sisi barat dari jalur jalan itu. Sejenak kemudian bayangan orang berewokan itu pun telah hilang di balik tanggul sungai yang tinggi.

“Gila!” desis Ki Bango Lamatan kemudian sambil bersiap meloncat turun dari kudanya. Namun dengan sebuah isyarat Ki Rangga telah mencegahnya.

“Tidak usah dikejar Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menghentikan kudanya. Yang lain pun kemudian ikut berhenti.

Sambil membalikkan kudanya Ki Rangga pun kemudian berkata, “Kita tidak tahu apa tujuan orang itu tadi melepaskan panah sendaren. Mungkin dia sedang memberikan isyarat kepada kawan kawannya di depan sana,” Ki Rangga berhenti sebentar sambil memandang ke arah Ki Gede. Lanjutnya kemudian, “Bagaimana Ki Gede? Apakah perjalanan ini perlu dilanjutkan?”

Tampak wajah Ki Gede ragu-ragu sejenak. Ketika terpandang olehnya wajah anak perempuan semata wayangnya, Ki Gede pun menarik nafas dalam-dalam.

“Ayah,” tiba-tiba justru Ratri lah yang menanggapi, “Bagaimana jika kita batalkan saja perjalanan lewat padukuhan Klangon ini? Kita memutar melewati padukuhan Salam saja. Walaupun perjalanan akan semakin jauh namun kemungkinannya akan lebih aman.”

“Belum tentu,” sahut Ki Bango Lamatan dengan serta merta, “Kita tidak tahu apa sebenarnya yang sedang kita hadapi. Tidak menutup kemungkinan jalur jalan yang lewat padukuhan Salam pun juga dalam pengawasan.”

Terlihat orang-orang dalam rombongan berkuda itu terangguk-angguk.

“Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian, “Kita lanjutkan perjalanan, namun aku harap semua meningkatkan kewaspadaan. Apapun yang kalian lihat atau dengar, jika itu mencurigakan menurut kalian, segera beritahu Ki Rangga. Ki Rangga berhak memutuskan untuk kelanjutan rombongan ini.”

Tampak kembali kepala orang-orang dalam rombongan itu terangguk angguk. Demikianlah rombongan itu segera meneruskan perjalanan dengan derap yang tenang dan tidak begitu kencang.

Namun rombongan Ki Gede itu telah dikejutkan oleh suara derap kaki-kaki kuda yang terdengar dari balik kelokan jalan di hadapan mereka. Sejenak kemudian, mereka tidak harus menunggu terlalu lama, empat ekor kuda beserta penungangnya pun muncul.

Keempat penunggang kuda itu tampak berpacu dengan tergesa gesa. Ketika mereka kemudian berpapasan, hanya beberapa orang saja yang berpaling sekilas. Tampaknya mereka mengacuhkan saja rombongan Ki Gede itu.

Namun panggraita Ki Rangga yang sangat tajam telah mengisyaratkan sesuatu yang tidak wajar. Entah mengapa isyarat itu begitu kuatnya memukul mukul dinding-dinding hatinya seolah olah memberitahukan kepadanya bahwa sesuatu yang sangat berbahaya sedang siap menerkam rombongan itu.

“Jika ada segolongan orang yang sengaja mencegat rombongan ini, yang harus didahulukan adalah keselamatan Ratri,” membatin Ki Rangga sambil menarik nafas dalam-dalam, “Jika orang-orang mengetahui salah satu di antara kita ada seorang perempuan yang lemah, tentu mereka akan berusaha untuk menawannya sehingga akan melemahkan perjuangan yang lainnya.”

Berpikir sampai disitu, jantung Ki Rangga semakin berdentangan. Sementara derap empat ekor kuda di belakang mereka yang muncul dari kelokan jalan itu semakin menjauh.

Untuk beberapa saat orang-orang yang berada dalam rombongan Ki Gede itu dapat bernafas lega. Ketika mereka kemudian berbelok, keempat orang berkuda itu sudah tidak tampak bayangannya lagi.

Namun tidak ada sepenginang sirih, rombongan Ki Gede itu pun kembali dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda dari arah belakang mereka. Ketika mereka kemudian berpaling ke belakang, tampak empat ekor dengan penunggangnya yang berpapasan tadi ternyata telah memutar haluan dan sekarang telah bergerak berjajar memenuhi jalan. Seolah olah dengan sengaja mereka telah menutup jalan untuk kembali.

“Gila!” kembali Ki Bango Lamatan mengumpat, “Permainan apa lagi ini? Mari kita beri mereka pelajaran bahwa rombongan ini bukan rombongan para pelancong atau pelesiran yang dengan mudahnya dapat mereka permainkan!”

“Tidak usah Ki Bango Lamatan,” sahut Ki Rangga yang berkuda di depan tanpa berpaling, “Kita ikuti saja apa permainan mereka. Lebih baik kita mengetahuinya sekarang dari pada sepeninggal kita, Matesih akan terganggu dengan kegiatan orang-orang yang tak di kenal ini.”

Ki Bango Lamatan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya.

“Beberapa rumah lagi, di depan adalah rumah Ki Dukuh Klangon,” tiba-tiba Ki Gede berdesis perlahan namun cukup mengejutkan Ki Rangga.

“Yang mana Ki Gede?” bertanya Ki Rangga kemudian sambil mengamat amati beberapa regol rumah di hadapannya.

“Yang regolnya paling besar dan tinggi itulah rumah Ki Dukuh,” jawab Ki Gede sambil menunjuk sebuah rumah yang terletak masih beberapa tombak jauhnya.

Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun belum sempat Ki Rangga menilai rumah dengan regol yang besar dan tinggi itu, dari dalam regol telah keluar enam orang lengkap dengan senjata yang tergantung di lambung. Mereka segera turun ke jalan dan kemudian berdiri berjajar jajar sepertinya dengan sengaja mencegat rombongan itu.

Sekarang barulah mereka yang berada di dalam rombongan itu menyadari bahwa mereka memang dengan sengaja telah di jebak.

Ketika rombongan Ki Gede itu telah semakin dekat, salah seorang yang berdiri di depan segera mengangkat tangan meminta rombongan itu untuk berhenti.

Sebenarnya jika saja dalam rombongan itu tidak ada Ratri, Ki Bango Lamatan lebih suka mengambil jalan pintas yang cukup keras dan tegas. Memacu kuda-kuda itu sekencang kencangnya untuk menerjang orang yang dengan sombongnya telah berusaha menghentikan perjalanan mereka.

 

bersambung ke bagian 2

7 Responses

  1. Ditunggu segera

  2. ditunggu kelanjutannya….

  3. ditenggo kelanjutanipun mbah…..

  4. Waduhhh. Malah wes entek…. Ditunggu kelanjutannya…. ☺🙂

  5. Japan ki dalang bagian 3 jld 20 ini keluar ya?

Leave a reply to Yanuar Cancel reply