TADBM-408

Bagian 3

Dalam pada itu, pasukan Mataram yang berada di sayap kanan telah mengalami kegoncangan ketika sekelompok orang yang mempunyai kemampuan melebihi prajurit kebanyakan telah hadir di medan. Tandang mereka benar-benar ngedab-edabi. Sebentar saja pasukan yang berada di sayap kanan itu telah mengalami tekanan yang sangat berat.

Pandan Wangi yang sedang berjalan mendekati seorang perempuan paro baya tapi masih terlihat sangat cantik itu telah menahan langkahnya. Ada sedikit keraguan di hati putri satu-satunya penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu. Perempuan paro baya itu memang sangat menarik hatinya. Gerakannya lemah gemulai bagaikan orang sedang menari, namun setiap hentakan pedang tipisnya yang ujungnya selalu bergetar itu sangat berbahaya dan berkali-kali hampir memakan korban. Delapan prajurit yang berusaha menahannya ternyata sudah mulai terdesak dan hanya bertahan agar tidak menjadi korban sambaran pedang tipis lawannya.

Namun di lain pihak, sekelompok orang yang datang kemudian itu juga menuntut perhatian. Para prajurit yang berusaha menahan mereka ternyata telah kewalahan dan harus bertempur dalam kelompok sehingga tekanan yang dialami pasukan Mataram di bagian sayap itu semakin berat.

Ketika Pandan Wangi masih dihinggapi keragu-raguan, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara perlahan, “Silahkan Nyi Pandan Wangi, biarlah sekelompok orang yang baru datang di medan pertempuran itu kami yang mengatasinya.”

Dengan sigap Pandan Wangi pun berpaling ke belakang. Tampak Ki Citra jati dan Nyi Citra Jati sedang berdiri beberapa langkah di belakangnya sambil tersenyum.

“Terima kasih,” jawab Pandan wangi sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian dengan langkah mantap diayunkan kakinya menuju ke lingkaran pertempuran yang sangat menarik hatinya.

Kedatangan Pandan Wangi di lingkaran pertempuran itu ternyata telah menarik perhatian perempuan paro baya itu. Dengan cepat dia meloncat mundur mengambil jarak. Sementara para prajurit yang mengepungnya segera berpencar membantu kawan-kawannya yang lain.

“O..,” seru perempuan paro baya itu sambil tersenyum, “Suatu kehormatan bagiku dapat bertemu dengan putri Tanah Perdikan Menoreh yang terkenal dengan sepasang pedang di lambungnya.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Agaknya perempuan paro baya ini sudah mengenalnya, atau setidaknya mengenal namanya dan ciri-ciri yang melekat padanya.

Dengan tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan, pandan wangi pun menjawab, “Terima kasih atas sambutan yang luar biasa. Mohon dimaafkan jika aku kurang mengenal trapsila dan tata krama sehingga belum mengenal nama maupun gelar dari Nyi sanak.”

Perempuan paro baya itu sejenak termangu-mangu. Ada sedikit perasaan kecewa bahwa ternyata keberadaannya kurang dikenal. Namun dengan cepat kesan itu terhapus dari wajahnya. Katanya kemudian, “Ah, tidak mengapa. Aku memang bukan orang yang terkenal seperti putri tanah Perdikan Menoreh ini. Aku hanyalah seorang pemimpin perguruan yang tidak terkenal. Perguruan Pamulatsih, perguruan yang hanya menerima murid perempuan.”

Kembali Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Di manakah letak Perguruan Pamulatsih itu?”

Perempuan paro baya itu tersenyum maklum. Jawabnya kemudian, “Perguruan Pamulatsih sangat jauh dari sini. Terletak di sebuah pulau kecil di ujung timur Pulau Jawa.”

Kali ini Pandan wangi mengangguk-anggukkan kepalanya walaupun dia belum tahu secara pasti letak pulau itu. Namun setidaknya dia telah mengetahui ancar-ancar letak perguruan Pamulatsih.

“Dan jika tidak berkeberatan, bolehkah aku mengetahui nama atau gelar Nyi Sanak?” kembali Pandan Wangi bertanya.

“Orang memanggilku Nyi Rahutri, lengkapnya Nyi Ayu Rahutri.”

Panda wangi mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berusaha mencuri pandang kearah wajah orang yang berdiri di depannya, seorang perempuan paro baya tapi masih terlihat cantik dan ayu.

“Nah, Pandan Wangi,” berkata Nyi Rahutri kemudian, “Apakah kita segera dapat memulai sebuah pertempuran ataukah engkau lebih senang duduk-duduk di bawah pohon sawo kecik di sebelah tanggul itu sambil berbincang mengenai dunia kita, dunia perempuan?”

Selesai berkata demikian Nyi Rahutri menunjuk ke arah tanggul sebelah kanan jalan yang ditumbuhi beberapa pohon sawo kecik yang berdaun rindang.

Pandan Wangi tersenyum kecil, jawabnya kemudian, “Sebenarnyalah aku lebih senang duduk berbincang dari pada menggenggam sepasang pedang. Namun sebelum kita memutuskan untuk itu, aku ingin mengetahui maksud dan tujuan Nyi Ayu Rahutri bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra ini.”

Nyi Rahutri tertawa kecil mendengar pertanyaan pandan wangi. Sambil menahan tawanya dia menjawab, “Pertanyaanmu terlalu besar Pandan Wangi dan memerlukan jawaban yang besar pula. Sebuah perjuangan kadang sulit untuk dimengerti oleh sebagian orang. Namun cita-cita itu adalah hak setiap orang walaupun orang lain berpendapat bahwa cita-cita itu terlalu ngaya wara dan tidak masuk akal. Namun bagiku, memperjuangkan sebuah cita-cita yang telah aku yakini adalah sebuah kebahagiaan tersendiri, karena dengan demikian aku merasa pernah meletakkan sebuah harapan bagi masa depanku walaupun hasilnya belum pasti. Namun setidaknya dalam hidupku yang singkat ini, aku pernah mempunyai sebuah harapan.”

Pandan wangi termenung sejenak mendengar jawaban Nyi Rahutri. Berbagai perasaan bergejolak dalam dadanya. Bukankah dia pernah mempunyai sebuah cita-cita dan harapan akan masa depannya? Dan sudahkah dia berusaha memperjuangkan cita-cita dan harapannya itu dengan sepenuh hati?

“Apakah Nyi Pandan Wangi juga mempunyai sebuah cita-cita dan harapan?” dengan suara yang lembut Nyi Rahutri tiba-tiba mengajukan sebuah pertanyaan.

“Ya..ya, Nyi,” jawab Pandan wangi tergagap, “Tentu saja aku juga mempunyai sebuah cita-cita dan harapan.”

“Sejak kapankah itu?” kembali terdengar suara lembut Nyi Rahutri, “Apakah cita-cita dan harapan Nyi Pandan Wangi sudah terwujud? Atau justru sebaliknya, sampai sekarang Nyi Pandan Wangi masih berharap dan hanya bisa berharap?”

Bergetar dada Pandan Wangi mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari pemimpin Perguruan Pamulatsih itu. Rongga dadanya terasa pepat dan nafasnya sedikit memburu ketika perlahan tapi pasti pandan Wangi terseret dalam arus kenangan masa lalunya.

“Adakah seseorang telah menyakiti hatimu, Nyi Pandan Wangi?” sebuah pertanyaan yang tak terduga telah menghentak dada putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu.

Tiba-tiba seraut wajah muncul sekilas dalam benaknya, wajah yang selalu menghantui hari-harinya yang kelabu, wajah yang dikenalnya pada masa remajanya dahulu dan tetap dikenangnya sampai kini, wajah seorang yang luruh dan rendah hati, wajah Ki Rangga Agung Sedayu.

“Ah,” Pandan Wangi menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha untuk mengusir bayangan wajah itu dari benaknya. Namun wajah itu justru tersenyum sareh ke arahnya sambil berbisik, “Engkau belum pernah memperjuangkan cita-cita dan harapanmu itu dengan sepenuh hati, Wangi? Apakah engkau akan tetap menjadi pengkhianat bagi hati nuranimu? Berjuanglah wangi, berjuanglah. Rebut masa depanmu selagi masih ada waktu.”

“Tidak..tidak!” tiba-tiba Pandan Wangi terpekik kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Aku mengerti, Nyi..” sebuah bisik lembut dari Nyi Rahutri kembali menguasai alam bawah sadarnya, “Tenangkanlah hatimu, aku akan membantumu untuk meraih cita-cita dan harapanmu itu. Percayalah, aku akan selalu berada di sampingmu.”

Pandan Wangi benar-benar telah terhanyut dan kehilangan kendali. Pandang matanya yang kosong menatap jauh ke depan ke titik-titik bayangan dan kenangan masa lalunya yang suram. Sementara air matanya setitik demi setitik telah menetes turun dari sudut matanya. Demikianlah tanpa disadarinya, Pandan Wangi telah terpengaruh oleh Aji Pamulatsih dari Nyi Rahutri, sebuah aji yang dapat membuat seseorang kehilangan kendali bahkan sampai kehilangan jati diri.

Nyi Rahutri tersenyum, mirip senyuman seekor serigala yang sedang mengintai mangsanya. Pedang di tangan kanannya yang merunduk kini perlahan telah terangkat. Dengan bergeser selangkah demi selangkah, pemimpin Perguruan Pamulatsih itu mendekati mangsanya dan siap untuk menghabisi nyawa lawannya tanpa ampun.

Ketika jarak antara Nyi Rahutri dengan Pandan Wangi tinggal tiga langkah lagi, Nyi Rahutri memutuskan untuk menghabisi lawannya dengan sekali loncat. Sementara Pandan Wangi masih tenggelam dalam mimpi masa lalunya.

Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Nyi Rahutri pun kemudian segera meloncat sambil menjulurkan pedang tipisnya ke arah dada sebelah kiri lawannya. Dalam perhitungannya, pedang tipisnya akan menembus jantung Pandan Wangi dengan sekali tusuk dan anak perempuan satu-satunya Ki Argapati itu tidak akan sempat mengelak ataupun menangkis. Tubuhnya akan jatuh terlentang dengan luka yang menganga di bagian dada.

Pada saat yang gawat itulah, tiba-tiba terdengar suara rinding yang ditiup dengan nada melengking tinggi memecah udara di seputar arena pertempuran sehingga telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur di sekitarnya.

Pandan Wangi yang sedang terbuai mimpinya bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk tepat pada saat ujung pedang tipis lawannya tinggal sejengkal dari dadanya. Dengan gerak naluriah sebagai orang yang berilmu tinggi, Pandan Wangi segera memiringkan dadanya, namun kecepatan gerak ujung pedang lawannya ternyata masih mampu menggores lengan kirinya.

Darah segera menitik dari luka yang cukup dalam, namun Pandan Wangi tidak segera kehilangan akal. Dengan bertumpu pada kaki kanannya, dia segera melenting ke samping kanan untuk menjauhkan diri dari kemungkinan serangan susulan lawannya.

Nyi Rahutri menggeram marah demi melihat mangsanya terlepas dari jebakannya. Dengan segera diputar pedang tipisnya sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran dia telah siap meloncat mengejar lawannya.

Namun alangkah terkejutnya Nyi Rahutri ketika sedang berputar itu sudut pandangan matanya menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri tegak dengan kaki renggang serta sepasang pedang telah tergenggam di kedua tangannya.

“Licik!” geram Pandan Wangi dengan wajah merah membara, “Jangan harap engkau akan lolos dari tanganku.”

Nyi Rahutri baru saja akan membuka mulutnya untuk menjawab kata-kata lawannya namun kedua ujung senjata lawannya telah meluncur ke arahnya.

Nyi Rahutri tidak menyangka bahwa Pandan Wangi mempunyai ilmu pedang yang nggegirisi. Kedua ujung pedang itu seolah-olah telah berubah menjadi puluhan dan mengurungnya dari segala penjuru. Dengan sekuat tenaga Nyi Rahutri telah merambah pada tenaga cadangannya untuk mengatasi serangan lawannya yang bagaikan ombak menghantam tebing susul menyusul tak henti-hentinya.

Kelihatannya Pandan wangi sudah sampai pada puncak kemarahannya atas perbuatan licik lawannya. Namun pandan wangi tetap tidak kehilangan nalar. Serangan-serangannya tetap runtut dan berlandaskan ilmu yang sudah matang dan mengendap. Ilmu yang disadap dari ayahnya sendiri dan kemudian dikembangkannya atas tuntunan Kiai Gringsing sewaktu masih hidup, telah menyempurnakan ilmu pedang rangkapnya menjadi sebuah ungkapan ilmu yang nggegirisi.

Nyi Rahutri benar-benar terdesak menghadapi gempuran Pandan Wangi. Tidak ada kesempatan sama sekali baginya untuk balas menyerang. Dengan berloncatan kesana-kemari dia berusaha menghindari kejaran kedua ujung pedang lawannya. Sesekali jika kesempatan menghindar dari serangan lawannya sudah tidak memungkinkan, jalan satu-satunya bagi Nyi Rahutri adalah menangkisnya.

Demikianlah ketika benturan itu terjadi, rasa-rasanya pergelangan Nyi Rahutri bagaikan retak dan hampir saja senjatanya terlepas dari genggaman. Dengan cepat Nyi Rahutri melompat kebelakang untuk memperbaiki kedudukannya namun serangan pandan Wangi telah datang kembali dengan membadai.

Serangan Pandan Wangi yang bertubi-tubi itu akhirnya membuahkan hasil sebuah goresan yang menghiasi lengan Nyi Rahutri. Dengan cepat pemimpin Perguruan Pamulatsih itu melompat mundur untuk mengambil jarak. Ketika pandan wangi mencoba untuk mengejar, ternyata waktu yang sekejap itu telah digunakan Nyi Rahutri untuk mengungkapkan puncak ilmunya.

Pandan Wangi segera menahan langkahnya. Dilihatnya Nyi Rahutri telah menyilangkan pedang tipisnya di depan dada. Matanya yang setengah terpejam itu sedikit tengadah. Sementara ujung pedangnya telah bergetar semakin cepat dan terlihat merah membara.

Tergetar dada Pandan Wangi demi menyadari lawannya telah sampai pada puncak ilmunya. Tanpa membuang waktu lagi, Pandan Wangi segera mengetrapkan puncak ilmu Perguruan Menoreh. Sebuah ilmu yang sangat dahsyat, ilmu yang mampu membuat sentuhan serangannya mendahului bentuk wadagnya.

Demikianlah kedua perempuan yang sudah berumur namun yang sama-sama masih terlihat sangat cantik dan menarik itu telah kembali terlibat dalam perkelahian yang semakin sengit. Nyi Rahutri setiap ada kesempatan selalu berusaha membenturkan senjatanya dengan sepasang pedang lawannya. Dengan gerakan yang cepat Nyi Rahutri berusaha mengikat Pandan Wangi dalam sebuah pertempuran jarak pendek.

Pada awalnya Pandan wangi belum menyadari rencana lawannya. Namun pada suatu ketika karena tidak mungkin menghindari serangan lawannya, Pandan Wangi telah menangkis senjata lawannya yang menyambar dari sisi kanan menebas leher.

Benturan itu ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi. Ujung pedang Nyi Rahutri yang membara itu ternyata panasnya telah merambat dengan sangat cepat mengalir ke sepanjang bilah pedangnya sampai ke pangkal.

Hampir saja Pandan Wangi melepaskan pedangnya kalau saja dia tidak menyadari bahaya yang mungkin timbul akibat kelalaiannya itu. Dengan cepat Pandan Wangi mencoba memperbaiki pegangan pada pangkal senjatanya sambil melompat mundur.

Ternyata Nyi Rahutri tidak mengejarnya. Sambil tangan kirinya bertolak pinggang dia tertawa berderai-derai. Katanya kemudian di sela-sela suara tertawanya, “Nah, bagaimana Pandan Wangi. Engkau sudah terluka. Semakin lama darah yang menetes dari lukamu akan semakin deras. Sedangkan menghadapi puncak ilmuku ternyata engkau tidak mampu. Menyerahlah, aku tidak akan membuatmu terlalu menderita di saat-saat terakhirmu.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Pandangan matanya nanar mengawasi gerak-gerik lawannya. Ketika tanpa disadarinya dia melihat ke arah lengan kirinya, ternyata lengan bajunya telah basah oleh darah.

“Luka ini akan semakin parah jika aku banyak bergerak,” berkata Pandan Wangi dalam hati, “Aku harus berpacu dengan waktu sebelum darahku habis terperas. Aku harus mampu menundukkan perempuan iblis ini sebelum aku sendiri terkapar kehabisan darah.”

Berpikir sampai di sini, pandan wangi telah memutuskan untuk melawan sampai titik darah penghabisan.

Sejenak kemudian ketika lawannya telah meloncat sambil mengayunkan senjatanya menebas pinggang, Pandan wangi telah siap. Dengan perhitungan yang mantap Pandan Wangi justru telah membenturkan pedang yang ada di tangan kirinya menangkis ayunan deras serangan Nyi Rahutri.

Nyi Rahutri yang tidak menyadari siasat lawannya justru telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk dibenturkan dengan pedang di tangan kiri Pandan Wangi. Tepat pada saat benturan itu terjadi, panas yang membara di ujung pedang tipis Nyi Rahutri dengan cepat telah merambat sampai ke pangkal pedang di tangan kiri pandan Wangi.

Kali ini Pandan Wangi sudah tidak terkejut lagi. Ketika benturan yang keras terjadi, sesungguhnya kekuatan mereka berimbang, namun panas yang menyengat telapak tangan itu rasa-rasanya hampir tak tertahankan. Untuk itulah sebelum panas yang merambat sampai ke pangkal pedangnya itu melukai telapak tangan kirinya, dengan sengaja dan penuh perhitungan Pandan Wangi justru telah melepaskan pedang di tangan kirinya.

Giliran Nyi Rahutri yang terkejut. Menurut perhitungannya Pandan Wangi akan tetap mempertahankan pedangnya, namun yang terjadi justru sebaliknya, pedang di tangan kiri pandan Wangi telah jatuh dan terlempar ke atas tanah.

Selagi Nyi Rahutri terbuai dengan kemenangan kecilnya dalam menyikapi keadaan lawannya, tiba-tiba saja pedang di tangan kanan Pandan Wangi meluncur deras mematuk dada.

Ni Rahutri tersenyum tipis menghadapi serangan lawannya. Pada perhitungannya, dengan sedikit memiringkan dada, serangan pandan wangi yang masih berjarak satu jengkal dengan dadanya itu pasti akan terlewatkan. Sebagai gantinya, pedang tipis Nyi Rahutri lah yang akan bergerak dengan cepat menusuk menembus jantung.

Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan pemimpin Perguruan Pamulatsih itu. Belum sempat dia memiringkan dadanya, ujung pedang yang masih berjarak sejengkal itu ternyata telah merobek dadanya.

“Anak iblis!” umpat Nyi Rahutri sambil melenting ke samping berusaha menghindari serangan pandan Wangi sejauh-jauhnya.

Luka itu ternyata cukup dalam sehingga darah bagaikan tertumpah dari dada Nyi Rahutri. Ketika dia masih berusaha untuk memperbaiki kedudukannya, Pandan Wangi tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Serangan Pandan Wangi pun dengan deras telah meluncur kembali.

Kali ini Nyi Rahutri berusaha menangkis dengan senjatanya. Namun kekuatan dan pemusatan ilmunya telah menyusut sejalan dengan ketahanan tubuhnya yang semakin menurun sehingga ketika dia berusaha mengungkit pedang lawannya, serangan pedang pandan Wangi hanya berbelok setebal jari dan justru telah beralih sasaran menghunjam ke pangkal lehernya.

Terdengar erangan yang dahsyat dari mulut Nyi Rahutri seiring dengan darah yang muncrat dan membasahi baju atasnya. Sejenak pemimpin padepokan Pamulatsih itu terhuyung-huyung ke arah kanan sebelum akhirnya jatuh terduduk bertumpu pada senjatanya.

“Curang.!” geram Nyi Rahutri dengan suara parau. Darah telah membasahi mulutnya, “Engkau tidak memberi kesempatan selagi aku masih dalam kesulitan.”

“Bagaimana dengan lukaku ini?” bertanya Pandan Wangi sambil memperlihatkan luka di lengan kirinya yang semakin deras mengalirkan darah, “Bukankah ini engkau peroleh dengan cara yang lebih curang dan tidak jantan?”

Nyi Rahutri tidak menjawab, hanya matanya yang membara dengan nanar menatap wajah Pandan Wangi. Sejenak kemudian dia masih akan mengucapkan sepatah dua patah kata, namun apa yang disebutnya sudah tidak begitu jelas. Akhirnya dengan perlahan tubuh pemimpin Perguruan Pamulatsih itu pun jatuh terguling dan tidak bergerak lagi.

Dengan langkah perlahan Pandan Wangi mencoba mendekati tubuh lawannya yang sudah terbujur kaku. Namun Pandan Wangi tiba-tiba merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Kedua kakinya terasa goyah dan berat untuk melangkah. Sementara kepalanya terasa pusing dan matanya berkunang-kunang.

“Engkau terluka ngger..” tiba-tiba terdengar suara sareh dari sebelah kanannya. Ketika Pandan Wangi berpaling, tampak Ki Citra Jati sedang berdiri termangu-mangu sambil menggenggam sebuah rinding.

“Terima kasih atas bantuannya Ki,” berkata Pandan Wangi sambil mencoba tetap berdiri tegak. Namun darah yang terlalu banyak bagaikan terperas dari tubuhnya telah membuat pertahanan tubuhnya melemah.

“Duduklah ngger,” berkata Ki Citra Jati sambil melangkah mendekat, “Aku akan mencoba untuk memampatkan lukamu agar darah tidak mengalir lagi.”

Pandan Wangi menurut. Setelah menyarungkan pedangnya yang tinggal satu, dia segera duduk bersila di atas tanah yang berdebu. Sementara pedang yang satunya dibiarkan saja tergeletak beberapa langkah di samping kirinya.

Ki Citra Jati yang telah berada di samping Pandan Wangi segera memeriksa lukanya. Luka itu memang cukup lebar dan dalam. Darah masih saja mengucur dari luka yang menganga itu.

“Jika terlambat sekejap saja, putri satu-satunya Ki Gede Menoreh ini tentu hanya tinggal namanya saja,” berkata Ki Citra Jati dalam hati sambil mengambil sarang gamet yang dibungkus dengan daun pisang segar dari kantong ikat pinggangnya. Setelah membersihkan luka itu terlebih dahulu dengan secarik kain bersih yang juga diambil dari kantong ikat pinggangnya, sarang gamet itu pun perlahan-lahan direkatkan pada luka itu.

Pandan Wangi tampak menggigit bibirnya ketika Ki Citra jati membersihkan lukanya dengan secarik kain bersih. Ketika sarang gamet itu kemudian sudah menutupi lukanya, rasa-rasanya luka itu menjadi agak dingin dan tidak mengalirkan darah lagi.

“Aku sengaja tidak menaburi luka itu dengan serbuk yang dapat memampatkan aliran darah,” berkata Ki Citra Jati, “Karena lukamu terlalu dalam dan lebar. Aku takut justru serbuk yang halus itu nanti akan terserap oleh aliran darahmu.”

Pandan wangi tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Ketika dia kemudian mencoba untuk berdiri, tiba-tiba pandangan matanya terasa gelap. Dengan terhuyung-huyung dia mencoba berdiri tegak, namun ternyata kedua kakinya sudah tidak mampu lagi untuk menyangga tubuhnya. Kalau saja tidak ada Ki Citra jati di sebelahnya yang dengan sigap segera menangkap tubuhnya, tentu Pandan Wangi sudah jatuh terjerembab tak sadarkan diri.

Mlayawerdi yang sedang bertempur tidak jauh dari lingkaran pertempuran Pandan Wangi tidak dapat menolong. Ketika dia meloncat mundur untuk mengambil jarak agar dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi dengan Pandan Wangi, ternyata lawannya tidak mau melepaskannya. Dengan sebuah teriakan yang keras Alap-alap Siwurbang segera memburu Mlayawerdi dengan putaran trisulanya.

Mlayawerdi masih sempat berpaling sekilas ke arah tempat Pandan Wangi terjatuh sebelum melenting ke samping untuk menghindari sambaran trisula lawannya. Ternyata Ki Citra Jati telah menahan tubuh Nyi Pandan Wangi agar tidak terjatuh dan kemudian membaringkan putri satu-satunya Ki Gede Menoreh itu di atas tanah yang berdebu.

“Semoga Nyi Pandan Wangi hanya kelelahan saja,” desis Mlayawerdi sambil merunduk ketika ujung trisula itu kembali menyambar, kali ini kepalanya yang menjadi sasaran.

Lawan Mlayawerdi benar-benar bergerak sesuai dengan namanya, Alap-Alap Siwurbang. Gerakannya benar-benar seperti burung alap-alap yang menyambar-nyambar mangsanya. Senjata lawannya yang bercabang tiga itu seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh-puluh dan mengurung Mlayawerdi dari segala penjuru.

Namun Mlayawerdi bukan anak kemarin sore yang baru belajar olah kanuragan selangkah demi selangkah. Pengalamannya dalam olah kanuragan sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan segenap kemampuan serta mengandalkan kelincahannya dalam bergerak, pedang di tangan Mlayawerdi menyusup di antara putaran senjata lawannya.

Dalam pada itu, sepeninggal Nyi Rahutri, keenam murid perguruan Pamulatsih itu telah bertempur dengan waringuten. Tandang mereka bagaikan singa-singa betina yang kehilangan anaknya. Pedang-pedang tipis itu bergetar berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari yang mulai tergelincir ke langit barat. Anak-anak perempuan Nyi Citra jati dengan sepenuh hati melayani murid-murid Perguruan Pamulatsih yang telah kehilangan pengendalian diri itu. Sepeninggal guru mereka, seolah-olah sudah tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk dapat keluar dari medan pertempuran itu hidup-hidup.

“Menyerahlah,” berkata Padmini sambil memutar pedangnya. Dia memang telah menyilangkan busurnya dan mencabut senjatanya berupa sebuah pedang bermata rangkap untuk mengatasi permainan pedang tipis lawannya.

“Kalian hanya akan menjumpai tubuh-tubuh kami yang tergolek membeku di atas tanah yang berdebu,” geram salah satu murid Nyi Rahutri yang bertahi lalat di dagu. Wajahnya bulat dan terlihat sangat manis dengan hiasan tahi lalat di dagunya.

“Kami bukan segolongan orang-orang yang tidak berhati dan berjantung,” sahut Baruni yang bertempur di sebelah mbokayunya, “Alangkah senangnya mempunyai sahabat seperti kalian. Kita dapat berlatih bersama-sama dan melakukan perjalanan bersama di lembah dan ngarai serta mendaki lereng-lereng terjal pegunungan untuk sekedar menambah wawasan.”

“Tutup mulutmu!” bentak murid perguruan Pamulatsih yang lain sambil memutar pedang tipisnya kemudian meluncur mematuk dada Rukmini.

Setiti yang melihat mbokayunya diserang dari dua arah segera membantu. Dibenturkannya tongkat bajanya yang juga berguna sebagai sumpit. Ketika benturan itu terjadi, kedua-duanya ternyata telah terkejut dengan kekuatan tenaga lawannya.

Dalam pada itu, Nyi Citra Jati yang sedang bertarung menghadapi sekelompok putut pilihan dari beberapa padepokan telah dibantu oleh Putut Darpa dan Putut Darpita. Pada awalnya kedua putut dari perguruan orang bercambuk di Jati Anom itu masih berusaha menyembunyikan jati diri mereka. keduanya masih bertempur dengan menggunakan senjata sebagaimana para prajurit Mataram. Mereka merasa belum waktunya untuk mengurai cambuknya. Namun ketika tekanan terhadap sayap kanan itu semakin tak tertahankan, kedua putut dari jati anom itu segera melemparkan pedang di tangan mereka.

Pada awalnya hal itu telah mengejutkan lawan-lawannya.

“He, apakah kalian memutuskan untuk menyerah?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi besar berkumis dan berjambang lebat.

“Tentu saja tidak,” jawab Darpita cepat, “Kami memutuskan untuk menggunakan senjata kami yang sebenarnya.”

Orang yang berkumis dan berjambang lebat itu memandang Darpita dengan heran. Katanya kemudian, “Jadi selama ini kalian belum bersungguh-sungguh dalam menggunakan senjata kalian?”

“Bukan begitu maksud kami,” jawab kedua putut dari Jati Anom itu hampir bersamaan. Kemudian lanjut Darpa, “Kami mempunyai senjata khusus yang telah kami tekuni sejak kami mengenal olah kanuragan. Namun bukan berarti kami tidak mempelajari berjenis-jenis senjata dengan segala sifat dan keutamaannya.”

“Alangkah sombongnya,” geram salah satu putut itu, “Kalian akan segera menyesali kesombongan yang tiada taranya. Jangan anggap medan pertempuran ini adalah sanggar tempat kalian berlatih sehari-hari. Di medan yang ganas ini, kelengahan yang hanya sekejap berarti kehilangan kesempatan untuk selama-lamanya.”

Kedua putut dari Jati Anom itu hanya saling pandang. Namun seolah-olah sudah berjanji sebelumnya, tiba-tiba keduanya telah meloloskan senjata cambuk yang dililitkan pada pinggang di balik baju mereka.

“Cambuk?” tanpa disadarinya, putut yang berkumis dan berjambang lebat itu berdesis perlahan, sementara kawannya hanya mengerutkan keningnya.

“Ya Ki Sanak, inilah senjata kami yang sebenarnya,” berkata putut Darpa dengan tenang.

Tiba-tiba kedua lawannya telah tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian, “Jangan harap kami takut dengan cambukmu itu Ki Sanak. Seandainya yang berdiri dan memegang cambuk di depan kami sekarang ini adalah Ki Rangga Agung Sedayu, tentu kami akan memanggil guru-guru kami untuk menghadapinya. Akan tetapi untuk menghadapi kalian berdua, walaupun kalian juga bersenjata cambuk, kami yakin dapat mengatasinya.”

“Ya,” sahut kawannya yang berdiri di sebelahnya, “Ilmu cambuk kalian tentu tidak ada bedanya dengan gembala-gembala kambing di padang-padang perdu. Atau justru dengan senjata yang aneh itu Ki Sanak akan menemui kesulitan untuk mengendalikannya. Kami masih memberi kesempatan kepada kalian untuk memungut pedang yang telah kalian lemparkan. Jangan menggunakan senjata yang kalian belum sepenuhnya menguasai sifat dan watak dari senjata itu sendiri.”

Putut Darpa dan Darpita benar-benar merasa dihinakan. Hampir bersamaan keduanya telah memutar cambuk ditangan mereka. Sejenak kemudian terdengarlah ledakan berturut turut yang menggelegar memekakkan telinga.

Beberapa orang di seputar arena pertempuran itu memang menjadi terkejut. Namun kedua lawan putut dari jati Anom itu sekali lagi telah tertawa berkepanjangan.

Kali ini kedua putut dari Jati Anom itu benar-benar ingin menunjukkan tingkat kemampuan ilmu mereka. Maka sejenak kemudian terdengar lagi ledakan cambuk yang berturut-turut namun kali ini suaranya lebih pelan namun getaran yang ditimbulkan telah mengguncang dada orang-orang yang sedang bertempur di sekitarnya.

“Gila,” geram orang yang berkumis dan berjambang lebat itu sambil memutar-mutar goloknya yang besar dan lebar, “Jangan merasa hebat dengan permainan cambukmu yang tidak berarti sama sekali bagiku. Getaran suara cambukmu sama sekali tidak dapat merontokkan sehelai rambutku. Namun aku yakin dengan sekali tebas, golokku ini akan dapat memisahkan kepalamu dari tubuhmu.”

Putut Darpa dan Darpita tidak menjawab. Mereka berdua segera berpencar untuk menghadapi lawan masing-masing.

Dalam pada itu, Ki Argapati yang sedang membawa pasukannya melingkar melewati regol padukuhan yang roboh telah mendekati arena perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra. Jarak perang tanding dengan pasukan Menoreh itu memang cukup jauh, namun Ki Gede Menoreh yang memimpin sendiri pasukannya telah dibuat semakin berdebar debar begitu menyaksikan jalannya pertempuran.

“Apakah kita akan mendekati arena perang tanding itu Ki Gede?” bertanya pemimpin pengawal sambil berpaling ke arah pemimpinnya.

“Tidak perlu,” jawab Ki Gede, “ Bawalah pasukan pengawal ini maju terus sampai mendekati sayap kanan dari pasukan Mataram. Selanjutnya engkau sudah tahu apa yang harus dilakukan.”

“Baik Ki Gede,” jawab pemimpin pengawal itu. Kemudian lanjutnya, “Apakah Ki Gede tidak ikut bersama-sama pasukan ini?”

Ki Gede Menoreh menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku akan melihat pertempuran Ki Rangga dari jarak yang cukup dekat. Aku ingin meyakinkan bahwa Ki Rangga tidak akan mengalami kesulitan menghadapi lawannya.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia segera meneriakkan aba-aba kepada para pengawal untuk bergerak menuju ke sayap kanan pasukan Mataram.

Ki Gede Menoreh yang telah memisahkan diri dari pasukannya sejenak masih berdiri termangu-mangu. Namun ketika dia lamat-lamat mendengar suara tertawa Panembahan Cahya Warastra, dengan tergesa-gesa dilangkahkan kakinya menuju arena perang tanding yang semakin dahsyat itu.

Sebenarnyalah panembahan Cahya Warastra pada saat itu telah merasa di atas angin. Ilmu pusaran angin praharanya tidak mampu tertembus oleh ilmu cambuk Ki Rangga Agung Sedayu.

“Ilmu cambukmu memang luar biasa, Ki Rangga,” terdengar suara Panembahan Cahya Warastra dari dalam pusaran prahara, “Namun sayang, kekuatannya belum mampu menghancurkan pusaran praharaku.”

Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Sekali lagi dipusatkan segala nalar budinya untuk mengetrapkan puncak ilmu cambuknya. Kali ini Ki Rangga berharap dapat menghancurkan pusaran angin prahara lawannya.

Ketika pusaran angin prahara itu kembali menerjang Ki Rangga Agung Sedayu, kali ini Ki Rangga benar-benar telah siap dengan puncak ilmu cambuknya. Cambuk Ki Rangga kembali meledak namun tidak ada bunyi ledakan sama sekali, sebagai gantinya dari ujung cambuk yang menggelepar itu telah meloncat seleret cahaya kebiru-biruan menyambar ke arah pusaran angin prahara yang sedang berputar dengan dahsyatnya menyergap ke tempat Ki Rangga Agung Sedayu berdiri.

Untuk kali ini perhitungan Panembahan Cahya Warastra keliru. Dia masih mengira ki Rangga akan melontarkan ilmunya pada tataran yang sama. Panembahan Cahya Warastra tidak mengira kalau lawannya masih mampu meningkatkan ilmunya selapis lebih tinggi lagi.

Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan ilmu yang tiada taranya. Seleret cahaya kebiru-biruan yang meloncat dari ujung cambuk ki Rangga ternyata telah mampu menghancurkan pusaran angin prahara itu. Disertai suara ledakan yang bergemuruh, pusaran angin prahara itu pun telah pecah berhamburan menebar ke seluruh medan perang tanding. Getaran yang ditimbulkannya telah mengguncang pepohonan dan semak belukar yang ada di sekitarnya. Sementara Panembahan Cahya Warastra sendiri yang berada di pusat prahara telah terdorong surut beberapa langkah akibat getaran yang ditimbulkan oleh benturan antara pusaran angin prahara dengan lontaran ilmu Ki Rangga Agung Sedayu.

Sejenak Panembahan Cahya Warastra masih mencoba memperbaiki kedudukannya serta mengatur debar jantungnya yang tiba-tiba saja telah memukul-mukul rongga dadanya. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa lawannya akan mampu melontarkan kekuatan sebesar itu sehingga ilmu angin praharanya telah hancur berantakan.

Karena pemusatan penalaran Panembahan Cahya Warastra telah terganggu oleh hentakan yang luar biasa sehingga membuatnya terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, maka pusaran angin prahara yang diciptakannya telah hilang tak berbekas.

Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu telah membuat sebuah kesalahan yang besar. Ki Rangga telah melepaskan sebuah kesempatan untuk mengakhiri perlawanan Panembahan Cahya Warastra pada saat pemimpin perguruan Cahya Warastra itu kehilangan kendali karena terkena hentakan ilmu Ki Rangga. Seharusnya Ki Rangga dapat sekali lagi melepaskan puncak ilmu cambuknya itu ketika Panembahan Cahya Warastra masih belum dapat menguasai kedudukannya. Namun ternyata Ki Rangga tidak melakukannya.

Keragu-raguan memang sempat terbesit di hati Ki Rangga ketika melihat lawannya terhuyung-huyung kebelakang. Walaupun sudah sekian lama Ki Rangga telah bergelut dalam dunia keprajuritan yang menuntut untuk selalu bersikap cepat dan tegas, namun sifat ragu-ragu dan tidak yakin dengan apa yang akan diperbuat, kadangkala masih saja muncul.

Demikian Panembahan Cahya Warastra dapat memperbaiki kedudukannya, sumpah serapah pun terlontar dari mulutnya.

“Anak iblis, dari mana engkau dapatkan ilmu iblis itu, he?” geram Panembahan Cahya Warastra, “Ternyata apa yang disampaikan Ki Bango Lamatan benar adanya. Ki Rangga Agung Sedayu adalah salah satu orang yang perlu diwaspadai selain Ki Patih Mandaraka,” Panembahan itu berhenti sebentar. Kemudian lanjutnya, “Tetapi jangan berbangga dulu. Aku masih belum sampai pada puncak ilmuku. Sebenarnya aku enggan mengeluarkan ilmu simpananku ini kecuali melawan orang yang benar-benar berilmu tinggi dan itu sangat jarang aku jumpai. Namun sekarang aku harus mempertimbangkan untuk merambah sampai puncak ilmuku karena Ki Rangga telah memancing kemarahanku.”

Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Panembahan ini masih mempunyai simpanan ilmu yang lain sehingga membuat jantung Ki Rangga menjadi semakin berdebar-debar.

“Apakah aku masih mampu mengimbanginya?” bertanya Ki Rangga dalam hati.

Namun Ki Rangga kembali memantapkan hatinya untuk selalu memohon pertolongan dari Sumber Hidupnya dalam menghadapi ilmu pamungkas lawannya yang mungkin jauh diluar penalarannya.

“Nah, Ki Rangga,” berkata Panembahan kemudian dengan suara yang berat dan dalam, “Aku sudah memberimu kesempatan untuk menghindar dari hadapanku. Namun dengan sombongnya engkau merasa dapat menjadi talang patinya Juru Martani yang licik itu. Engkau akan segera menghadapi sebuah pameran ilmu yang tiada taranya. Aku harap engkau tidak akan menjadi pingsan karenanya.”

Sekali ini Ki Rangga tersenyum sekilas. Jawabnya kemudian, “Aku akan sangat berterima kasih Panembahan, mendapatkan kesempatan yang langka untuk melihat dan menyaksikan sendiri ilmu pamungkas Panembahan yang tiada bandingnya.”

“Tutup mulutmu!” bentak Panembahan, “Jangan menjadi sombong karena kemenangan kecil yang baru saja engkau raih. Ingat, kekuatan kita masih seimbang. Namun kini aku sudah tidak sabar lagi untuk segera mengakhiri perang tanding ini.”

Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Telapak tangan kanannya rasa-rasanya telah menyatu dengan tangkai cambuknya sehingga setiap saat Ki Rangga telah siap melontarkan kemampuan puncaknya.

Panembahan Cahya Warastra yang melihat lawannya hanya berdiri termangu-mangu tidak mau menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian saudara kembar Kecruk Putih itu pun telah menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Sejenak kemudian selembar asap tipis tampak muncul dan mulai menyelimuti sekujur tubuh saudara kembar Kecruk Putih itu. Semakin lama asap putih itu semakin tebal dan berputar membumbung tinggi dan semakin tinggi. Ketika asap putih itu perlahan-lahan menipis dan kemudian hanyut tertiup angin, Ki Rangga Agung Sedayu yang berdiri beberapa tombak di depan Panembahan Cahya Warastra telah dibuat terkejut bukan buatan. Hampir saja jantung Ki Rangga terlepas dari tangkainya begitu menyadari lawan yang berdiri di hadapannya telah berubah ujud menjadi Panembahan Cahya Warastra dalam bentuk yang luar biasa besarnya, hampir lima kali lipat dari bentuk aslinya.

Pada awalnya Ki Rangga menyangka ilmu yang dipamerkan lawannya itu tidak lebih dari ilmu bayangan semu yang hanya mengelabui pandangan kasat mata lawan, namun ketika Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengetrapkan aji sapta panggraita untuk melihat dengan mata hatinya ujud sebenarnya yang sedang berdiri di hadapannya itu, sekujur tubuh ki Rangga Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi gemetar dan keringat dingin telah mengucur dari sekujur tubuhnya. Ujud itu ternyata bukan bentuk semu, namun benar-benar ujud Panembahan Cahya Warastra yang bertiwikrama menjadi Raksasa.

Dalam pada itu pertempuran telah berhenti dengan sendirinya. Kedua pasukan yang saling berhadapan menyabung nyawa itu telah terpesona dengan ilmu Panembahan Cahya Warastra yang mampu mengubah ujud wadagnya menjadi berkali lipat sehingga menyerupai ujud raksasa.

“Aji Brahala Wuru!” seru Ki Patih Mandaraka hampir tidak dapat menguasai diri begitu melihat Panembahan Cahya Warastra berubah ujud menjadi Raksasa. Ternyata Ki Patih Mandaraka tidak meninggalkan medan pertempuran. Ki Patih tetap mengawasi jalannya pertempuran dari tanggul yang agak tinggi bersama dengan para prajurit pengawal kepatihan.

“Aji Brahala Wuru?” tanpa disadarinya seorang prajurit kepatihan yang berdiri di belakang Ki Patih telah mengulang dengan tubuh gemetar.

“Ya,” sahut Ki Patih dengan jantung yang semakin berdebaran, “Sebuah aji yang hanya ada dalam dongeng. Pemiliknya dapat bertiwikrama sehingga mengubah tubuhnya menjadi sebesar raksasa.”

“Ampun Ki Patih,” sembah prajurit itu dengan keringat dingin yang mulai membasahi punggungnya, “Apakah kekuatan orang yang mempunyai aji Brahala Wuru itu juga berlipat sesuai dengan wujud wadagnya yang meraksasa?”

Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan prajurit itu. Dilayangkan pandangan matanya ke arah medan perang tanding Ki Rangga melawan Panembahan Cahya Warastra. Ada semacam penyesalan mengapa dirinya membiarkan Ki Rangga melawan saudara kembar Kecruk Putih itu? Bukankah selama ini dendam itu ditujukan kepada dirinya?

Ketika Ki Patih kemudian berpaling ke arah prajurit yang berdiri di belakangnya, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara gemuruh disertai dengan bumi yang berguncang dari arah arena perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu.

Serentak mereka pun berpaling ke arena perang tanding. Ternyata ujud Panembahan Cahya Warastra yang meraksasa itu telah mulai menyerang lawannya. Kaki panembahan Cahya Warastra yang sebesar pohon kelapa itu telah berusaha menginjak Ki Rangga Agung Sedayu. Namun dengan cepat Agul-agulnya Mataram itu melenting ke samping sehingga kaki sebesar pohon kelapa itu telah menghunjam ke bumi dan menimbulkan suara yang bergemuruh disertai dengan getar yang terasa sampai di tempat Ki Patih berdiri.

Ki Patih Mandaraka pun mengerutkan keningnya semakin dalam sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Katanya kemudian, “Itulah kekuatan aji Brahala Wuru.”

“Aku benar-benar tidak yakin dengan penglihatanku,” desis seorang prajurit pengawal kepatihan yang lain dengan tubuh menggigil seperti orang kedinginan sambil mengusap-usap kedua matanya, “Rasa-rasanya kita seperti terlempar ke dunia lain dan bertemu dengan raksasa yang hanya dapat dijumpai dalam dongeng-dongeng.”

“Ya,” kawan yang di sebelahnya menyahut. Rasa-rasanya dadanya menjadi sesak dan sulit untuk menarik nafas, “Apa yang kita saksikan hari ini tidak akan ada yang mempercayainya jika kita bercerita kepada kawan-kawan kita sekembalinya dari pertempuran dahsyat ini.”

“Apakah engkau yakin dapat kembali selamat dari pertempuran ini?” seorang kawannya yang berbadan agak gemuk memotong dengan wajah yang pucat pasi, “Dengan bentuk raksasa seperti itu, akan sangat mudah bagi Panembahan Cahya Warastra untuk menghancurkan seluruh prajurit Mataram”

“Belum tentu,” kali ini yang menyahut adalah Ki Patih Mandaraka sendiri, “Aku yakin Ki Rangga masih mempunyai ilmu pamungkas yang akan dapat digunakan untuk melawan aji Brahala Wuru dari Panembahan Cahya Warastra.”

Para prajurit pengawal kepatihan itu termangu-mangu sejenak mendengar pendapat Ki Patih Mandaraka. Dalam hati mereka meragukan keterangan Ki Patih. Melihat ujudnya saja yang hampir lima kali lipat dari tubuh Ki Rangga, para pengawal kepatihan itu merasa tidak yakin Ki Rangga akan mampu mengatasi lawannya. Sementara Ki Patih Mandaraka pun ternyata mulai dihinggapi perasaan ragu-ragu begitu melihat tandang Panembahan Cahya Warastra yang nggegirisi itu.

Sebenarnyalah, Ki Rangga Agung Sedayu sendiri telah hampir kehilangan akal dalam menghadapi ilmu lawannya yang ngedap-edapi itu. Ujud Raksasa Panembahan Cahya Warastra itu telah membuat Ki Rangga harus mengerahkan ilmunya yang dapat menghilangkan bobot tubuhnya untuk menghindari serangan lawannya yang datang bagaikan badai silih berganti. Beberapa kali Ki Rangga harus bergulingan di atas tanah yang porak poranda dan berlubang-lubang terkena hujaman kaki lawannya. Tidak ada kesempatan sama sekali baginya untuk mengurangi tekanan lawan dengan balas menyerang. Ki Rangga Agung Sedayu benar-benar mengalami kesulitan yang tiada taranya.

Dalam pada itu Ki Gede Menoreh yang telah tiba di arena perang tanding itu bagaikan membeku di tempatnya. Sebelumnya, pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu memang pernah melihat ujud raksasa dalam bentuk semu ketika terjadi pertempuran antara pasukan Mataram yang baru berdiri dibantu dengan para pengawal Menoreh dalam menumpas pergerakan Panembahan Agung yang dapat mengancam kelangsungan Mataram.

Namun kali ini yang disaksikan Ki Gede benar-benar ujud raksasa dari Panembahan Cahya Warastra yang sedang mengamuk mengejar ke mana pun Ki Rangga menghindar.

Tiba-tiba sudut mata Ki Gede menangkap bayangan seseorang yang berjalan mendekatinya. Ternyata seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah memberanikan diri untuk mendekati Ki Gede Menoreh.

“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Ki Argapati sesampainya pengawal itu di hadapannya.

“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu dengan suara bergetar dan wajah pucat pasi sambil sesekali mencuri pandang ke arena perang tanding, “Nyi Pandan Wangi terluka.”

“He!” seru Ki Argapati dengan wajah memerah, “Pandan wangi terluka?”

“Ya, Ki Gede,” jawab pengawal itu hampir tak terdengar. Kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi gejolak di dalam dadanya dia melanjutkan, “Kelihatannya Nyi Pandan Wangi terlalu banyak mengeluarkan darah sehingga membuatnya pingsan.”

Ki Gede segera mengedarkan pandangan matanya untuk mencari di mana anak perempuan satu-satunya itu berada. Tampak beberapa tombak di depan regol padukuhan induk yang telah roboh, seorang perempuan yang sudah berumur dengan dikawal beberapa pengawal tanah Perdikan Menoreh sedang mendukung Nyi Pandan Wangi menuju ke padukuhan induk.

Ternyata Nyi Citra Jati telah berpikir cepat. Ketika pertempuran itu sempat terhenti sebentar karena terpesona dengan aji Brahala Wuru dari Panembahan Cahya Warastra, kesempatan itu ternyata telah dimanfaatkan oleh Nyi Citra Jati untuk mendekati tempat di mana Pandan Wangi dibaringkan dan ditunggui Ki Citra Jati. Dengan cepat Nyi Citra Jati segera mendukung Nyi Pandan Wangi menyingkir dari medan menuju ke padukuhan induk untuk mendapatkan pertolongan atas lukanya. Namun yang lebih penting dari itu bagi Nyi Pandan Wangi adalah istirahat yang cukup agar dapat memulihkan tenaganya kembali.

“Aku akan melihatnya,” berkata Ki Gede sambil berjalan tergesa-gesa menyusul rombongan yang terlihat sudah memasuki padukuhan induk.

Ketika Ki Gede sudah hampir mencapai regol padukuhan yang telah roboh, dia sempat berpaling ke arah arena perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra.

“Semoga Ki Rangga Agung Sedayu segera menemukan jalan untuk mengatasi kesulitannya,” gumam Ki Gede perlahan.

Ketika Ki Gede Menoreh kemudian melangkahkan kakinya memasuki padukuhan induk, dia melihat Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi sedang tergesa-gesa menyusul rombongan yang membawa Pandan Wangi menuju ke salah satu rumah yang dipakai sebagai balai pengobatan.

“Kiai,” sapa Ki Gede Menoreh kepada Kiai Sabda Dadi sambil berjalan setengah berlari, “Bagaimana dengan lawan Kiai?”

Ki Jayaraga dan Kiai Sabda Dadi menghentikan langkahnya dan berpaling. Kata Kiai Sabda Dadi kemudian setelah Ki Gede berada di sebelahnya, “Agaknya aku kurang beruntung hari ini. Lawanku kembali pergi meninggalkanku.”

Ki Gede mengerutkan keningnya, “Bagaimana mungkin orang itu bisa lolos kembali dari tangan Kiai Sabda Dadi?”

Kiai Sabda Dadi tersenyum masam. Jawabnya, “Dia benar-benar pandai bersembunyi dengan Aji Halimunan nya. Aku masih memerlukan waktu sekejap untuk mengenali apa yang sedang terjadi ketika dari kejauhan aku melihat bentuk yang nggegirisi dari Panembahan Cahya Warastra, tiba-tiba saja dia telah menghilang dari pandangan mataku.”

“Jadi Kiai Sabda Dadi juga menyaksikan ilmu Panembahan itu?”

“Ya,” jawab Kiai Sabda Dadi, “Agaknya Ki Jayaraga pun juga telah menyaksikan walaupun hanya dari kejauhan.”

“Ya, Ki Gede. Sebuah ilmu yang hanya ada dalam dongeng,” berkata Ki Jayaraga.

“Bukankah lawan Kiai Sabda Dadi melakukan hal yang sama pagi tadi di halaman rumahku?”

“Begitulah Ki Gede,” jawab Kiai Sabda Dadi, “Dia menghilang begitu saja sehingga aku telah kehilangan waktu sekejap untuk mencarinya.”

Ki Gede Menoreh hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika dia memandang ke depan, tampak rombongan yang membawa Pandan Wangi itu sudah memasuki balai pengobatan.

“Kiai,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian, “Aku akan melihat keadaan anakku terlebih dahulu. Jika Kiai berkenan memberikan obat barang setetes untuk memperkuat ketahanan tubuhnya, aku akan sangat berterima kasih.”

“Baiklah,” jawab Kiai Sabda Dadi. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga dia bertanya, “Apakah Ki Jayaraga berkenan ikut menengok keadaan Nyi Pandan Wangi ataukah Ki Jayaraga akan melihat keadaan medan pertempuran.”

Sebelum Ki Jayaraga menjawab, ternyata Ki Gede telah mendahuluinya, “Aku mohon Ki Jayaraga berkenan melihat perang tanding Ki Rangga Agung Sedayu. Kelihatannya Ki Rangga sedang mengalami kesulitan.”

“Ya, aku dan Kiai Sabda Dadi sudah melihat ujud Panembahan Cahya Warastra yang berubah menjadi raksasa,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Aji Brahala Wuru itu sebenarnya hanya ada di dalam dongeng. Aku tidak mengira kalau Panembahan Cahya Warastra ini mempunyai ilmu untuk melipat gandakan ujud wadagnya.”

“Apakah Ki Jayaraga mempunyai kemampuan untuk melawan Aji Brahala Wuru?” bertanya Ki Gede.

Ki Jayaraga menggeleng, “Aku hanya pernah mendengar aji ini dari dongeng-dongeng yang pernah aku baca, dan baru kali ini aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.”

Kiai Sabda Dadi dan Ki Gede Menoreh sejenak saling pandang. Akhirnya Ki Gede melangkah meninggalkan tempat itu sambil berkata, “Marilah Ki Jayaraga, aku akan melihat keadaan anak perempuanku. Semoga lukanya tidak terlalu parah.”

“Silahkan Ki Gede, “ sahut Ki Jayaraga cepat, “Biarlah Kiai Sabda Dadi menemani Ki Gede. Namun setelah yakin Nyi Pandan Wangi tidak mengalami hal yang gawat, aku mohon kalian berdua menemaniku menunggui perang tanding Ki Rangga.”

Tanpa menghentikan langkah, hampir bersamaan Ki Gede dan Kiai Sabda Dadi mengangguk.

Sepeninggal kedua orang tua itu Ki Jayaraga segera berjalan menuju regol padukuhan yang telah runtuh. Dari tempat itu Ki Jayaraga sudah dapat menyaksikan pertarungan dahsyat antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Panembahan Cahya Warastra.

Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu sedang memikirkan cara untuk mengurangi tekanan serangan lawannya sekaligus untuk mengimbangi kekuatan lawannya yang berlipat-ganda karena ujud aslinya telah bertiwikrama menjadi raksasa, walaupun aji yang akan ditrapkan itu mungkin kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan saudara kembar Kecruk Putih itu dalam ujud raksasa. Namun setidaknya Ki Rangga berharap ilmu yang akan ditrapkan itu dapat mengurangi tekanan lawannya.

“Setidaknya Panembahan ini masih memerlukan waktu sekejap untuk mengetahui diriku yang sebenarnya, sehingga aku akan mempunyai kesempatan untuk balas menyerang” berkata Ki Rangga dalam hati sambil melenting berdiri menghindari sambaran kaki lawannya.

Ketika ujud raksasa Panembahan Cahya Warastra itu mengayunkan tangannya sambil membungkuk untuk menghantam lawannya yang tengah berdiri, tiba-tiba saja Ki Rangga Agung Sedayu telah meloncat menghindar ke tiga arah yang berbeda. Ternyata Ki Rangga telah mengetrapkan Aji Kakang Pembarep Dan Adi Wuragil.

bersambung ke TADBM jilid 409

 

<< kembali ke TADBM-407 | lanjut ke TADBM-409 >>

6 Responses

  1. Ah,,,, belum ada kiriman rontal, mas?

    Belum ada, masih kejar tayang. Silahkan kunjungi https://cersilindonesia.wordpress.com/tadbm-408 jika tidak sabar menunggu disini

  2. Selamat tahun baru 2015. Semoga tahun ini lebih baik dari tahun yang lalu untuk kalian semua.

  3. Wilujeng enjing. Salam pasedherekan, kados padhepokan menika sae kagem wadhah komunikasi budaya. Khususipun ing bab sastra ingkang ngemu unsur lokal sejarah, Katur mbah Man, mugi tansah pinaringan sehat lan ‘trengginas’ ugi ing pangatos-atos anggenipun momong olah sastra lan momong para cantrik sutrisna padhepokan.

  4. nenggo dawahipun lontar selajengipun…seking padepokan.mugi sami sehat.mbahman .lan sanak kadang sedoyo

  5. Jossss ….

  6. Perlahan tapi pasti kedua kabut tipis yang berbeda warna itu saling bertemu dan membentuk garis batas yang jelas. Kabut yang berwarna putih kebiru-biruan itu tampak mendesak kabut yang berwarna putih kemerah-merahan. Sejenak keduanya saling mendesak sehingga suasana sangat mencekam. Seandainya saja ada sebatang jarum yang runtuh ke tanah, niscaya bunyi dentingannya akan mengejutkan orang-orang yang ada di seputar arena. ( Mbah man bisa’an bikin kata2 uniqiew )

Leave a comment