TADBM-413

<< kembali ke TADBM-412 | lanjut ke TADBM-414 >>

Bagian 1

TADBM-413

Demikianlah, akhirnya Ki Patih dan orang-orang tua itu segera menempatkan diri duduk bersila di atas sehelai tikar pandan yang terbentang di tengah-tengah pendapa. Sementara Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya serta orang-orang yang lain telah ikut pula duduk bersila melingkar menghadap ke arah Ki Patih.

Dalam pada itu, di antara gerumbul dan semak belukar yang bertebaran di belakang dinding banjar padukuhan induk, dua sosok bayangan tampak merayap mendekati dinding pembatas yang berada di belakang banjar.

“Apakah kita perlu meloncati dinding, kakang?” bertanya orang yang agak gemuk dan berwajah bulat.

Yang dipanggil kakang itu sejenak mengerutkan keningnya. Setelah mengamati keadaan sekelilingnya terlebih dahulu, akhirnya dia pun berbisik, “Sebaiknya aku dulu yang meloncati dinding. Engkau mengawasi keadaan.”

Kawannya tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk.

Beberapa saat kemudian, kedua orang itu telah berdiri melekat dinding. Dengan penuh kewaspadaan keduanya pun berusaha mendengarkan segala desir yang mungkin terdengar di luar maupun di dalam dinding.

Ketika orang yang berwajah bulat itu kemudian memandang wajah kawannya sambil mengangguk, maka dengan merendahkan kedua lututnya, kawannya itu pun telah mengambil ancang-ancang untuk meloncat ke atas dinding.

Sejenak kemudian, bagaikan seekor burung rajawali, orang itu pun telah terbang dan hinggap dengan tubuh tertelungkup di atas dinding. Untuk beberapa saat dia sama sekali tidak bergerak namun pendengarannya yang tajam segera mendengar derit pintu yang terbuka. Seleret sinar dlupak tampak muncul dari sela-sela pintu yang terbuka. Namun sesaat kemudian sinar itu pun segera lenyap seiring dengan tertutupnya kembali pintu dapur itu.

Apa yang terdengar kemudian adalah langkah seseorang yang tergesa-gesa menuju ke perigi yang terletak di halaman belakang banjar. Ketika orang yang menelungkup di atas dinding itu mengangkat kepalanya, terdengar seseorang sedang menimba air di perigi untuk mengisi pakiwan.

Tiba-tiba terdengar pintu dapur berderit kembali. Seseorang yang lain agaknya ke luar dari dapur dan berjalan menuju ke halaman belakang.

“Apakah air di pakiwan sudah penuh?” terdengar seseorang bertanya.

“Belum,” jawab orang yang sedang menimba di perigi itu, “Tinggal sedikit lagi. Apakah Ki Patih berkenan ke pakiwan sekarang?”

“Belum,” jawab orang yang baru keluar dari dapur, “Mungkin nanti pada saat akan berangkat Ki Patih memerlukan pakiwan ini.”

Kembali suasana menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah derit senggot bambu dalam irama yang ajeg serta sesekali suara air yang tertumpah ke dalam pakiwan.

Ketika sekali lagi terdengar derit pintu dapur, orang yang menelungkup di atas dinding itu segera berbisik kepada kawannya yang menunggu di bawah, “Aku kira aku tidak perlu meloncat masuk. Kita sudah mendapat keterangan yang cukup.”

“Apakah engkau yakin, kakang?” bertanya kawannya yang menunggu di bawah dinding.

Orang yang sedang menelungkup di atas dinding itu tidak segera menjawab. Tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang turun dan berdiri tegak di samping kawannya.

“Aku kira kita sudah cukup mendapat keterangan tentang Ki Patih,” katanya kemudian sambil tangannya sibuk membersihkan debu yang melekat di pakaiannya, “Ki Patih akan kembali ke Kota Raja malam ini juga. Kita harus segera melaporkan kepada Ki Lurah agar Ki Lurah segera dapat menentukan langkah-langkah selanjutnya.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian kedua orang itu segera bergeser menjauhi dinding. Dengan berlindung pada gerumbul perdu serta semak belukar, kedua orang itu pun semakin jauh meninggalkan dinding belakang banjar padukuhan induk.

Ketika kedua orang itu telah semakin jauh meninggalkan dinding banjar padukuhan induk, tiba-tiba saja dari gelapnya kerimbunan bayangan pohon sawo kecik yang tumbuh beberapa langkah dari dinding telah muncul bayangan seseorang.

Bersamaan dengan itu, pintu dapur pun terdengar berderit dan seseorang telah keluar menuju halaman belakang sambil membawa dlupak yang menyala.

“Apakah Ki Patih sudah bersiap untuk berangkat?” bertanya orang yang sedang menimba di perigi itu sambil menuangkan air ke jambangan yang ada di dalam pakiwan.

“Ya, sebentar lagi,” sahut orang yang membawa dlupak sambil masuk ke pakiwan. Sejenak kemudian orang itu pun telah keluar dari pakiwan dan meninggalkan dlupak itu di atas ajug-ajug di salah satu sudut pakiwan.

“Air di jambangan sudah penuh,” berkata orang itu kemudian kepada kawannya yang masih berdiri termangu-mangu di dekat perigi, “Namun sesuai perintah Ki Lurah, kita tetap di halaman belakang ini untuk menjaga segala kemungkinan.”

Orang yang berdiri di dekat perigi itu hanya menarik nafas dalam-dalam sambil memandang ke arah bayangan rimbunan pohon sawo kecik. Agaknya orang ini telah melihat seseorang keluar dari gelapnya bayangan rimbunan pohon sawo kecik dan berjalan mendekat ke arah mereka.

“Tugas kalian telah selesai,” berkata orang yang keluar dari gelapnya bayangan rimbunan pohon sawo kecik itu, “Kita menunggu Ki Patih pergi ke pakiwan untuk meyakinkan bahwa tidak ada hal-hal yang diluar perhitungan kita,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Perintahkan kepada kawan-kawanmu yang masih bersembunyi di halaman belakang ini untuk segera berkemas.”

“Baik Ki Lurah,” jawab orang yang berdiri di dekat perigi. Sejenak kemudian orang itu pun telah melangkah ke tempat yang telah dijadikan oleh kawan-kawannya untuk bersembunyi sambil mengamati keadaan.

“Ki Lurah,” berkata orang yang keluar dari dapur setelah kawannya pergi, “Apakah tidak sebaiknya perjalanan Ki Patih ditunda sampai besok? Kita tidak tahu dengan pasti sedang berhadapan dengan siapa dan berapa sebenarnya kekuatan mereka.”

Orang yang dipanggil Ki Lurah itu segera melangkah mendekat. Katanya kemudian, “Ki Patih sendiri yang menghendaki permasalahan ini diselesaikan sampai tuntas malam ini juga. Ketika prajurit sandi yang bertugas di tepian kali Praga tadi sore melaporkan adanya gerakan beberapa orang yang mencurigakan di dalam hutan dekat tepian kali Praga, aku sudah mempunyai gagasan seperti itu. Namun ketika Ki Patih yang baru saja hadir tadi aku beri laporan, Ki Patih menghendaki semuanya harus terungkap secara jelas, agar di lain waktu tidak membuat persoalan semakin besar dan rumit.”

Orang yang diajak bicara oleh Ki Lurah itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sebenarnyalah sore tadi seorang prajurit sandi yang bertugas di tepian kali Praga telah memberi laporan kepada Ki Lurah prajurit pengawal Kepatihan di banjar padukuhan induk. Prajurit sandi itu telah melihat adanya gerakan yang mencurigakan dari orang-orang yang berada di dalam hutan dekat tepian kali Praga.

“Berapakah jumlah mereka?” bertanya Ki Lurah kepada prajurit sandi itu.

“Yang terlihat sekitar lima belas orang, namun selebihnya aku tidak tahu karena tidak mungkin bagiku untuk masuk ke dalam hutan lebih dalam lagi,” jawab Prajurit sandi itu, “Aku belum dapat memastikan siapakah mereka sebenarnya. Ada kemungkinannya mereka adalah sisa-sisa pengikut Panembahan Cahya Warastra atau mungkin justru kelompok lain yang berusaha mengail di air yang keruh.”

Ki Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Terima kasih atas laporan ini. Akan aku laporkan kepada Ki Patih jika Ki Patih telah kembali dari kediaman Ki Gede Menoreh. Untuk selanjutnya engkau dapat kembali ke tempat tugasmu. Usahakan untuk selalu mengadakan hubungan dengan kami jika ada perkembangan atau perubahan sewaktu-waktu”

“Baik Ki Lurah,” jawab prajurit sandi itu.

Demikianlah ketika Ki Patih dan rombongannya telah duduk di pendapa beserta orang-orang yang menunggu kehadiran Ki Patih, secara khusus Ki Lurah prajurit pengawal kepatihan segera menghadap dengan cara duduk hanya beberapa jengkal di belakang Ki Patih.

Agaknya Ki Patih tanggap bahwa ada sesuatu hal yang perlu segera mendapatkan perhatian. Maka sambil berpaling ke belakang Ki Patih pun berdesis perlahan, “Apakah ada sesuatu hal yang penting?”

“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Lurah sambil beringsut setapak maju dan menghaturkan sembah, “Tadi sore ada prajurit sandi yang telah melaporkan perkembangan di sekitar tepian kali Praga.”

Kemudian Ki Lurah pun secara singkat segera melaporkan perkembangan yang ada di tepian kali Praga.

“Usahakan untuk menyelesaikan masalah ini malam ini juga,” perintah Ki Patih tetap dengan suara berbisik kepada Ki Lurah, “Perjalanan ini tidak boleh ditunda. Berikan kesan kepada mereka bahwa kita tetap kembali ke kota Raja malam ini sehingga kita segera tahu siapa sebenarnya mereka dan apa tujuannya.”

“Sendika Ki Patih,” berkata ki Lurah kemudian sambil beringsut mundur.

Demikianlah akhirnya ketika para prajurit yang sedang berjaga di banjar padukuhan induk malam itu melihat ada dua orang yang mencurigakan sedang mendekati dinding belakang banjar, Ki Lurah pun kemudian memerintahkan untuk membuat kesan bahwa Ki Patih tetap pada rencana semula untuk kembali ke kota Raja malam itu juga.

Dengan menyebarkan sebagian prajuritnya bersembunyi di halaman belakang banjar, Ki Lurah sendiri ternyata telah turun tangan untuk mengamati keadaan dan menunggu kedua orang yang mereka curigai itu memasuki halaman belakang banjar.

Demikianlah akhirnya usaha Ki Lurah dan anak buahnya dalam memberikan kesan kepada kedua orang yang menyusup ke halaman belakang banjar dapat dikatakan berhasil, menilik kedua orang yang dicurigai itu telah meninggalkan tempat.

Dalam pada itu, di pendapa agaknya Ki Patih telah memberikan titahnya.

“Ki Gede Ental Sewu,” berkata Ki Patih, “Setelah mendengarkan tujuan kalian ke Menoreh ini untuk mencari Ki Jayaraga dan bukan semata-mata bergabung dengan pasukan Panembahan Cahya Warastra, aku berjanji akan membantu kalian mengajukan pertimbangan kepada Sinuhun Panembahan Hanyakrawati untuk memohon keringanan atas kesalahan kalian terhadap Mataram,” Ki Patih berhenti sejenak sambil memandang ke arah Ki Gede Ental Sewu yang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Lanjutnya kemudian, “Namun dengan demikian bukan berarti kalian bebas dari segala tuduhan. Pernyataan kalian untuk bersetia kepada Mataram masih harus diuji.”

“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Gede Ental Sewu, “Perguruan Ental Sewu di lereng Gunung Sindoro siap menerima hukuman apa saja yang akan dijatuhkan oleh pemerintahan Mataram. Namun permohonan kami pribadi, ijinkanlah kami meluruskan permasalahan perguruan kami dengan Ki Jayaraga agar tidak ada lagi syak wasangka di antara kami.”

“Itu urusan Ki Gede,” sahut Ki Patih cepat, “Namun semua itu dapat ki Gede lakukan setelah urusan Ki Gede dengan Mataram selesai. Untuk itu aku akan membawa Ki Gede dan kedua muridmu malam ini juga bersama-sama dengan prajurit pengawal Kepatihan menuju ke Kota Raja. Untuk selanjutnya nanti terserah kepada Sinuhun Panembahan Hanyakrawati untuk mengabulkan permohonanmu.”

Sejenak wajah Ki Gede Ental Sewu memerah. Namun hanya sekejap wajah itu kembali tampak pasrah dan ikhlas menerima keputusan Ki Patih Mandaraka.

“Hamba Ki Patih,” berkata Ki Gede Ental Sewu kemudian sambil menghaturkan sembah, “Kami akan menjunjung tinggi setiap keputusan yang akan diambil oleh pemerintahan Mataram.”

Ki Patih tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Ki Jayaraga yang duduk di sebelah Ki Gede Menoreh hanya dapat menarik nafas dalam-dalam dengan kepala tertunduk.

“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sebelumnya kami mohon ijin untuk memperkenalkan sepasang suami istri yang ikut menghadap Ki Patih malam ini,” Ki Gede Menoreh berhenti sejenak. Kemudian sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah laki-laki dan perempuan yang rambutnya sudah putih semua itu, Ki Gede melanjutkan kata-katanya, “Sepasang suami istri itu adalah Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati beserta anak-anak angkat mereka.”

Sejenak Ki Patih mengangkat alisnya sambil melemparkan pandangan matanya ke arah orang-orang yang duduk di sekitar sepasang suami istri itu. Tanyanya kemudian sambil tersenyum, “Sebanyak itu?”

“Ampun Ki Patih,” Ki Citra Jati lah yang dengan serta merta menyahut sambil menyembah, “Tiga orang gadis-gadis inilah anak angkat kami, sedangkan Mlayawerdi ini termasuk paman mereka,” Ki Citra Jati berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke belakang dia melanjutkan, “Sedangkan keenam gadis-gadis yang duduk di belakang kami adalah para anak murid perguruan Pamulatsih.”

“Perguruan Pamulatsih?” ulang Ki Patih dengan nada sedikit ragu-ragu, “Bukankah perguruan itu tidak menerima murid kecuali perempuan?”

“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Citra Jati sambil berpaling ke arah salah satu murid perguruan Pamulatsih yang duduk di belakangnya.

Salah satu murid perguruan Pamulatsih yang berwajah bulat dan bertahi lalat di dagu segera beringsut maju. Katanya kemudian setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu, “Ampun Ki Patih, hamba mewakili saudara-saudara seperguruan, mohon ijin menyampaikan permohonan kami.”

“Katakan,” sahut Ki Patih cepat.

Untuk sejenak gadis berwajah bulat itu justru telah membeku. Ketika saudara seperguruannya yang duduk di sebelahnya menggamit, baru lah dengan suara sedikit bergetar dia berkata, “Mohon ampun Ki Patih. Perguruan Pamulatsih telah bersalah membantu Panembahan Cahya Warastra. Untuk itu kami murid-murid Perguruan Pamulatsih dengan penuh kesadaran telah menyerahkan diri,” gadis itu berhenti sejenak untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering. Lanjutnya kemudian, “Guru kami Nyi Ayu Rahutri telah tewas dalam pertempuran kemarin. Jika Ki Patih mengijinkan, mohon dapatlah kiranya jasad Nyi Ayu Rahutri kami semayamkan di padepokan Pamulatsih.”

Untuk beberapa saat Ki Patih terdiam sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil berpaling ke arah Ki Gede Menoreh, akhirnya Ki Patih pun bertanya, “Siapakah yang bertanggung jawab atas perguruan Pamulatsih sepeninggal Nyi Ayu Rahutri?”

Ki Gede Menoreh yang merasa mendapat pertanyaan dari Ki Patih justru sejenak telah menjadi bingung. Tanpa sadar Ki Gede Menoreh pun kemudian telah berpaling ke arah Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

“Ampun Ki Patih,” Nyi Citra Jati yang merasa bertanggung jawab atas keenam murid perguruan Pamulatsih itu segera menyembah sambil membungkukkan badan dalam-dalam. Katanya kemudian, “Hamba yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini, Ki Patih. Hamba telah membujuk mereka untuk menyerah sepeninggal Nyi Ayu Rahutri. Bahkan hamba berkeinginan untuk mempersaudarakan mereka berenam dengan anak-anak kami.”

Kembali Ki Patih mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepala, Ki Patih akhirnya berkata, “Baiklah. Untuk perguruan Pamulatsih aku serahkan pengawasannya kepada Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Mewakili pemerintahan Mataram, aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian dalam menghadapi pasukan Panembahan Cahya Warastra kemarin. Dan sekali lagi pemerintahan Mataram membutuhkan bantuan kalian untuk mengawasi perguruan Pamulatsih.”

Orang-orang yang hadir di pendapa itu tampak mengangguk-angguk. Sepeninggal Nyi Ayu Rahutri mereka memang beranggapan bahwa kekuatan perguruan Pamulatsih telah jauh menyusut. Yang tertinggal hanyalah murid-muridnya yang berada pada tataran yang masih jauh di bawah guru mereka.

“Nah,” berkata Ki Patih kemudian, “Kalian murid-murid perguruan Pamulatsih selanjutnya akan berada di bawah bimbingan Nyi Citra jati. Jika kalian berkeinginan mengebumikan jasad Nyi Ayu Rahutri itu di padepokan kalian, sebaiknya kalian membicarakannya terlebih dahulu dengan Nyi Citra Jati. Bukankah padepokan kalian terletak jauh di sebuah pulau kecil di ujung timur pulau Jawa? Pertimbangkanlah baik-baik masalah ini sebelum kalian memutuskannya.”

Kembali orang-orang yang berada di pendapa itu mengangguk-angguk.

Demikianlah akhirnya pertemuan di pendapa itu telah selesai. Ki Patih sejenak telah menyempatkan diri pergi ke pakiwan. Sedangkan Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya segera berkemas untuk mengikuti perjalanan Ki Patih kembali ke kota Raja. Sementara Ki Citra jati dan Nyi Citra Jati telah mengajak anak-anak angkatnya beserta keenam murid perguruan Pamulatsih kembali ke rumah yang sementara ini mereka gunakan sebagai tempat tinggal.

Dalam pada itu di dalam hutan dekat tepian Kali Praga, tampak telah berkumpul orang-orang yang berwajah keras, sekeras batu padas di gerojokan. Seorang yang berperawakan tinggi tegap dengan gelang-gelang besi di kedua belah tangannya tampak sedang membangunkan seseorang yang sedang tidur mendengkur bersandaran sebatang pohon. Orang itu terlihat sudah sangat tua sekali. Tubuhnya kecil bahkan cenderung agak bongkok. Namun yang membuat orang tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua belah tangannya itu dadanya tergetar hebat adalah ketika pandangan matanya menangkap sebilah keris yang tampak terselip di lambung kiri orang tua renta itu, keris Kanjeng Kiai Sarpasri.

“Luar biasa,” desis orang tinggi besar itu dalam hati, “Eyang Guru baru saja tiba beberapa saat tadi menjelang sirep bocah. Bagaimana mungkin keris Kanjeng Kiai Sarpasri ini sudah kembali kepadanya?”

Namun orang tinggi besar itu tidak terlalu lama merenungi keris yang terselip di lambung kiri orang yang disebut Eyang Guru itu. Dengan perlahan orang tinggi besar itu segera berjongkok dan menyentuh kaki orang yang disebut Eyang Guru itu.

“Eyang Guru?” perlahan orang tinggi besar itu berdesis sambil menyentuh kaki Eyang Guru, “Petugas sandi kita telah datang dan mengabarkan bahwa malam ini juga Ki Patih Mandaraka akan kembali ke kota Raja.”

Eyang Guru itu ternyata tidak bergerak sama sekali. Bahkan suara dengkurnya terdengar menjadi semakin keras.

Sejenak orang tinggi besar itu ragu-ragu. Ada perasaan segan untuk kembali membangunkan Eyang Guru. Namun waktu telah berjalan terus dan malam telah mendekati pusatnya.

Ketika orang tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua belah tangannya itu kemudian bangkit berdiri, tiba-tiba saja seseorang telah menggamitnya dari belakang.

Dengan cepat dia kemudian memutar tubuhnya, tampak seseorang sedang berdiri termangu-mangu di hadapannya.

“Rombongan Ki Patih telah mendekati kelokan jalan di pinggir hutan itu,” berkata orang yang menggamitnya itu kemudian.

Orang tinggi besar itu tidak menjawab. Sejenak dia menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Eyang Guru yang masih terlihat tidur pulas bersandaran sebuah pohon.

“Apakah sebaiknya kita menyergap rombongan itu di padang perdu yang luas sebelum jalan menurun menuju ke tepian?” bertanya orang tinggi besar itu akhirnya.

Namun sebelum kawannya menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa lirih di belakang mereka.

Serentak kedua orang itu berpaling. Ternyata Eyang Guru itu telah duduk bersila di bawah pohon tempatnya bersandar. Sambil tetap terkekeh, Eyang Guru itu pun kemudian berkata, “Apakah kalian ingin membunuh diri?”

“Maksud Eyang Guru?” hampir bersamaan kedua orang itu bertanya sambil berlutut dan kemudian duduk bersila di hadapan Eyang Guru.

Eyang Guru sejenak memandang kedua orang yang telah duduk bersila di hadapannya. Katanya kemudian, “Orang dari Sela itu terlalu pengecut untuk pulang ke kota Raja hanya dengan pengawalnya. Ki Gede Menoreh dan para pengawal Tanah Perdikan ternyata telah mengawal rombongan itu,” Eyang Guru berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Selain itu di tepian kali Praga juga telah menunggu pasukan yang cukup besar jumlahnya. Dengan sekali isyarat, mereka akan berdatangan ke padang perdu itu untuk membantai kalian.”

Kedua orang yang duduk di hadapan Eyang Guru itu hampir bersamaan telah mengerutkan kening. Hampir saja terloncat sebuah pertanyaan dari mulut mereka. Namun mereka segera menyadari, tentu Eyang Guru mereka itu lebih tahu dari pada para petugas sandi.

“Jadi, bagaimana selanjutnya Eyang Guru? Dimanakah sebaiknya kita mencegat rombongan Ki Patih?” bertanya orang yang tinggi tegap itu kemudian.

Untuk beberapa saat Eyang Guru terdiam. Sambil menebarkan pandangan matanya ke sekitarnya, Eyang Guru pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Agaknya malam ini kita kurang beruntung. Orang dari Sela itu terlalu pengecut untuk menghadapi perang tanding beradu dada denganku. Kita masih banyak kesempatan di lain waktu.”

Selesai berkata demikian, tanpa mempedulikan kedua orang yang masih duduk bersila di atas tanah yang lembap, Eyang Guru pun kemudian melangkah menerobos lebatnya hutan menuju ke arah timur.

Kedua orang yang sedang duduk bersila di atas tanah yang lembap itu hanya dapat saling pandang. Namun mereka berdua tidak berani membantah keputusan yang telah dibuat oleh Eyang Guru mereka. Maka keduanya pun kemudian segera berdiri dan memberi isyarat kepada kawan-kawan mereka yang sedang bersembunyi di dalam hutan itu untuk segera bergerak ke arah timur mengikuti Eyang Guru mereka.

Dalam pada itu Ki Patih dan rombongannya telah mencapai kelokan jalan setapak yang menjelujur di pinggir hutan sebelah utara padukuhan induk. Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga beserta sekelompok pengawal Menoreh ternyata telah menyertai perjalanan Ki Patih sampai ke tepian kali Praga.

“Jalan-jalan akan semakin ramai jika hutan di sebelah timur ini mulai dibuka untuk sebuah padukuhan, Ki Gede,” berkata Ki Patih yang berkuda di sebelah kanan Ki Gede Menoreh.

“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Gede Menoreh, “Memang kami telah berencana untuk membuka sebagian hutan sebelah timur ini untuk sebuah padukuhan. Dengan demikian hubungan antara penyeberangan kali Praga dan Padukuhan kecil yang berada di sebelah utara Padukuhan induk tidak terputus. Selama ini hanya jalan setapak di tepi hutan inilah yang menjadi jalan penghubung.”

Ki Patih mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesekali pandangan matanya terlempar jauh ke depan, ke kegelapan yang membentang seolah tak berujung.

“Apakah sudah ada tanda-tanda kehadiran mereka?” tiba-tiba Ki Patih berbisik kepada Ki Lurah Prajurit pengawal Kepatihan yang berkuda beberapa langkah di belakangnya.

“Ampun Ki Patih,” jawab Ki Lurah sambil sedikit memacu kudanya ke depan mendekati Ki Patih, “Menurut berita dari prajurit sandi sore tadi, mereka berada di ujung hutan dekat tepian kali Praga. Menurut hemat hamba, mereka tidak akan mungkin menyerang rombongan ini di dekat tepian, karena Ki Tumenggung Tirtayudha telah menempatkan sepasukan prajurit Jalamangkara di sekitar tepian.”

Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sambil mengerutkan kening. Berbagai pertimbangan memang sempat bergolak dalam dada orang yang semasa mudanya bergelar Ki Juru Mertani itu. Ada keinginan untuk segera mengetahui siapakah sebenarnya sekelompok orang yang berada di ujung hutan dekat tepian itu? Namun dengan pengamanan yang telah dilakukan oleh Ki Tumenggung Tirtayudha sepanjang perjalananya, kemungkinannya sangat kecil jika sekelompok orang-orang yang tak di kenal itu akan mencegat perjalanannya.

Sebenarnya Ki Patih telah memerintahkan untuk memancing sekelompok orang tak dikenal itu sore tadi kepada Ki Lurah prajurit pengawal Kepatihan. Namun agaknya Ki Tumenggung Tirtayudha yang memegang kendali pengamanan perjalanannya sampai ke kota Raja tidak mau mengambil tindakan gegabah.

“Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan trah Sultan Demak itu?” berkata Ki Patih dalam hati sambil terus memacu kudanya dengan derap yang ajeg, “Ki Ajar Serat Gading telah menyebutnya. Jika memang ada sekelompok orang yang sedang memperjuangkan trah Sultan Demak untuk kembali bertahta di negeri ini, sebenarnya lah mereka hanya bermimpi di siang hari.”

Kembali pandangan mata Ki Patih terlempar jauh ke arah kegelapan di hadapannya. Ingatannya kembali ke masa kerajaan Pajang masih tegak berdiri. Sejak Ki Gede`Pemanahan memutuskan untuk meninggalkan istana Pajang dan membuka alas Mentaok, Ki Patih Mandaraka yang pada waktu itu masih bergelar Ki Juru Mertani sudah dapat merasakan akan adanya perpecahan dan persaingan yang sangat tajam dalam memperebutkan kekuasaan di negeri ini.

Tanpa terasa kaki-kaki kuda rombongan Ki Patih itu telah mulai melintasi padang perdu yang cukup luas. Untuk beberapa saat mereka dapat memacu kuda-kuda mereka lebih cepat. Setelah mencapai jalan yang sedikit menurun, mulailah kaki-kaki kuda mereka menginjak tanah yang sedikit berpasir pertanda bahwa rombongan Ki Patih itu telah mendekati tepian kali Praga.

Tanpa sadar, hampir setiap orang yang ada dalam rombongan itu telah menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya kekhawatiran yang selama ini menghantui perjalanan mereka telah sirna. Ki Patih dan para prajurit pengawal Kepatihan akan segera menyeberangi kali Praga dengan pengawalan ketat sepasukan prajurit Jalamangkara.

Beberapa prajurit yang berjaga di tepian itu segera menyambut kedatangan rombongan Ki Patih. Kuda-kuda mereka telah dipisahkan dan dinaikkan ke rakit khusus serta dijaga oleh beberapa prajurit. Sedangkan ki Patih dan Ki Tumenggung Tirtayudha serta Ki Gede Ental Sewu dan kedua muridnya akan berada dalam satu rakit. Sementara para prajurit pengawal Kepatihan berada di rakit yang lain.

“Terima kasih Ki Gede Menoreh,” berkata Ki Patih kepada Ki Gede yang bediri beberapa langkah di depan Ki Patih sambil memegangi kendali kudanya, “Atas nama Mataram, aku mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas dharma bhakti yang ditunjukkan Tanah Perdikan Menoreh kepada pemerintahan Mataram.”

“Hamba Ki Patih,” jawab Ki Gede Menoreh sambil membungkuk, “Demi tegaknya panji-panji kebesaran Mataram di atas tanah ini, kami para penghuni Tanah Pedikan Menoreh rela berkorban jiwa dan raga.”

Ki Patih tersenyum mendengar janji kepala tanah Perdikan Menoreh itu. Katanya kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga, “Atas nama Mataram, aku juga mengucapkan terima kasih atas bantuan Ki Jayaraga selama ini.”

“Sendika Ki Patih,” jawab Ki Jayaraga sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, “Hamba bukanlah orang yang pantas mendapatkan perlakuan khusus. Hamba tidak lebih dari salah satu penghuni tanah Perdikan Menoreh.”

“Ah,” Ki patih tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Seorang penghuni Tanah Perdikan Menoreh yang mampu membakar hutan dan mengeringkan lautan.”

Sejenak ki Jayaraga mengerutkan keningnya mendengar kelakar Ki Patih. Katanya kemudian, “Ampun ki Patih, hamba tidak berani membakar hutan karena selain akan dapat menimbulkan banjir, tentu ki Gede Menoreh tidak akan pernah mengijinkan. Sedangkan untuk mengeringkan lautan hamba tidak tahu harus memakai alat apa.”

Orang-orang yang mendengar kelakar ki Jayaraga pun tidak dapat menahan tawa mereka.

“Baiklah,” berkata Ki Patih kemudian, “Semoga disisa perjalanan malam ini tidak ada satu pun aral yang melintang.”

“Hamba Ki Patih,” hampir bersamaan orang-orang yang berada di tepian itu menjawab.

Demikianlah akhirnya rombongan Ki Patih segera menaiki rakit masing-masing, sedangkan Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga serta para pengawal Tanah Perdikan Menoreh segera bersiap-siap untuk kembali ke padukuhan induk.

Ketika Ki Patih mulai menaiki rakit dan menyeberangi kali Praga yang airnya tampak kehitam-hitaman dalam kegelapan malam, lamat-lamat dari padukuhan kecil di seberang kali Praga terdengar suara kentongan dipukul dengan nada dara muluk yang menandakan bahwa malam telah sampai pada pusatnya.

“Kita akan sampai di kota Raja menjelang dini hari,” berkata Ki Patih kepada Ki Tumenggung Tirtayudha yang berdiri di sebelahnya.

“Sendika Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung, “Memang kita tidak mungkin berpacu terlalu cepat di malam hari melewati padukuhan-padukuhan. Apalagi jika kita sudah memasuki kota Raja, akan dapat menimbulkan kegelisahan kepada para penghuni kota Raja, dan bahkan tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan kesalah pahaman dengan para prajurit yang sedang bertugas.”

Ki Patih tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ketika Ki Patih kemudian melemparkan pandangan matanya ke seberang, tampak dalam gelapnya malam sepasukan prajurit telah siap menyambutnya.

“Pengawalan yang berlebihan,” desis Ki Patih perlahan. Namun desis yang hanya perlahan itu ternyata telah membuat Ki Tumenggung Tirtayudha mengerutkan keningnya dalam-dalam.

“Ampun Ki patih,” berkata Ki Tumenggung kemudian, “Kami tidak mau mengulangi kesalahan yang telah terjadi di tanah pekuburan pagi tadi. Perang tanding itu seharusnya tidak perlu terjadi karena keselamatan Ki Patih di atas segala-galanya. Kami tidak ingin kejadian itu terulang lagi malam ini. Kekuatan lawan belum dapat kita jajagi sepenuhnya sehingga kami telah memilih langkah pengamanan terlebih dahulu.”

Ki Patih tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang tampak terangguk-angguk. Agaknya ki Patih dapat mengerti jalan pikiran ki Tumenggung yang lebih memilih keselamatan dirinya dari pada membuat permainan yang ujung-ujungnya akan menghadapkan dirinya untuk berperang tanding dengan lawan yang belum diketahui kekuatannya.

Dalam pada itu Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga beserta para pengawal sedang dalam perjalanan kembali dari tepian kali Praga menuju ke padukuhan induk. Mereka berkuda dengan kecepatan sedang agar tidak menimbulkan kesan yang mendebarkan kepada orang-orang yang mungkin sempat berpapasan atau para peronda yang sedang nganglang. Ketika samar-samar dalam kegelapan malam lampu dlupak yang terangkut di pojok regol padukuhan induk yang baru diperbaiki siang tadi mulai terlihat, mereka segera memperlambat laju kuda mereka.

Beberapa pengawal yang sedang berjaga di gardu di sebelah regol itu segera berloncatan ke tengah regol dengan penuh kewaspadaan. Namun ketika rombongan itu semakin dekat dan mereka dapat melihat dengan jelas siapakah yang berkuda di paling depan, dengan segera para pengawal itu pun kemudian berloncatan menepi.

“Selamat malam Ki Gede,” berkata para pengawal itu serempak sambil membungkuk ketika rombongan Ki Gede lewat di depan mereka.

“Selamat malam,” jawab Ki Gede sambil tersenyum dan berpaling ke arah para pengawal yang berdiri berjajar-jajar di depan gardu, “Apakah semuanya baik-baik saja?”

“Demikianlah Ki Gede,” jawab pengawal yang tertua yang berdiri di paling ujung sambil mengangguk.

Sejenak kemudian rombongan itu telah bergerak menuju ke Banjar Padukuhan induk.

“Ki Gede,” bertanya Ki Jayaraga sambil berkuda di sebelah kiri Ki Gede. “Apakah tidak sebaiknya kita langsung saja kembali ke kediaman Ki Gede?”

Ki Gede tersenyum sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga. Jawabnya kemudian, “Aku ingin melihat keadaan para pengawal yang sedang di rawat terlebih dahulu. Selain itu kita perlu menanyakan kepada Kiai Sabda Dadi, apakah dia ingin tinggal di padukuhan induk ini, ataukah akan kembali bersama-sama kita.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Orang itu telah banyak berjasa kepada Tanah Perdikan ini. Kiai Sabda Dadi datang ke Tanah Perdikan ini dengan berbekal pengetahuan pengobatan yang mumpuni sehingga telah banyak bermanfaat bagi sesama. Berbeda dengan aku yang datang ke tempat ini dengan penuh dendam. Untung lah pada waktu itu ada Kiai Gringsing yang mampu meredam dendam kesumat yang membara di jantung ini. Seandainya saja pada waktu itu tidak ada orang yang mampu menghalang-halangiku, tentu hidupku sampai saat ini masih tetap bergelimang dengan noda dan dosa.”

“Kita wajib bersyukur, Ki,” berkata Ki Gede menanggapi kata-kata Guru Glagah Putih itu, “Apapun rencana manusia, kehendak Yang Maha Agung lah yang berlaku. Dan kita jangan pernah berhenti memohon yang terbaik bagi kehidupan bebrayan ini.”

Tanpa terasa rombongan berkuda itu telah sampai di depan regol banjar Padukuhan induk. Beberapa pengawal yang berjaga segera menyambut tali kendali kuda-kuda itu begitu Ki Gede dan Ki Jayaraga telah meloncat turun.

Dalam pada itu, di kediaman Ki Gede Menoreh Ki Rangga Agung Sedayu tampak sedang gelisah di pembaringan. Telah berkali-kali dicobanya untuk memejamkan mata, namun berbagai bayangan selalu saja hilir mudik di rongga matanya sehinga membuat suami Sekar Mirah itu gelisah.

“Kakang,” bisik Sekar Mirah yang duduk di tepi pembaringan sambil memijat-mijat kaki suaminya, “Apakah ada sesuatu yang sedang menjadi beban pikiran Kakang sehingga Kakang terlihat sangat gelisah?”

Ki Rangga menarik nafas dalam dalam sambil pandangan matanya menatap langit-langit bilik. Katanya kemudian, “Mirah, waktu sudah lewat tengah malam, sebaiknya engkau segera beristirahat. Tingalkan aku sendiri. Aku akan baik-baik saja. Bukankah sewaktu-waktu Bagus Sadewa memerlukan kehadiranmu?”

Sekar Mirah tersenyum. Setiap kali teringat akan anaknya, selalu saja hati putri satu-satunya Ki Demang Sangkal Putung itu berdesir tajam. Sebuah desir kebahagiaan dan rasa syukur yang tiada terkira atas karunia dari Sang Maha Pencipta justru di saat usianya menjelang senja telah dikaruniai seorang putra.

 

Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian, “Sore tadi aku telah memberinya minum sepuas-puasnya. Tampaknya dia tidur lelap sekali ditunggui Damarpati dan Rara Wulan. Biasanya menjelang ayam jantan berkokok yang pertama dia akan terbangun dan menangis minta minum.”

Ki Rangga tersenyum sambil memandang ke arah istrinya dengan pandangan mata penuh kasih sayang. Betapa kehidupan yang berliku telah mereka jalani bersama. Betapa rasanya sangat jauh bagi dirinya untuk merengkuh hati Sekar Mirah pada saat awal-awal mereka membangun rumah tangga. Betapa ketinggian hati adik saudara seperguruannya itu serta kebiasaan hidup dalam gelimang kemewahan kadang telah menimbulkan perdebatan yang panjang dan tak berkesudahan tentang masa depan mereka berdua.

“Kakang, apakah kita akan menghabiskan umur kita di Padepokan yang sepi ini selama-lamanya?” bertanya Sekar Mirah pada waktu itu, “Padepokan yang sama sekali tidak dapat menjanjikan apa-apa bagi masa depan kita.  Padepokan yang tidak lebih dari tempat penampungan bagi orang-orang malas dan tanpa gairah dalam menyongsong masa depan.”

“Ah,” tanpa sadar Ki Rangga telah berdesah perlahan sambil melemparkan pandangan matanya ke langit-langit. Masa yang telah lalu itu terasa sangat menyesakkan dada. Masa-masa yang penuh dengan perjuangan dan liku-liku kehidupan.

Sekar Mirah yang sedari tadi memperhatikan suaminya segera bertanya, “Ada apa Kakang?”

“O, tidak ada apa-apa Mirah,” jawab Ki Rangga dengan serta merta. Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Rangga mencoba meredakan getaran dalam dadanya yang tiba-tiba saja bergejolak lagi.

“Isyarat itu datang lagi,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Aku harus segera meminta petunjuk kepada Ki Waskita.”

“Mirah,” berkata Ki Rangga pada akhirnya, “Ada sesuatu hal yang sangat penting yang ingin aku bicarakan dengan Ki Waskita. Pergilah ke regol depan dan mintalah tolong kepada salah satu pengawal yang sedang berjaga di sana untuk memberitahu Ki Waskita.”

Sejenak Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Apakah masalah itu begitu pentingnya, kakang? Sehingga perlu membangunkan Ki Waskita yang mungkin sedang beristirahat?”

Untuk beberapa saat Ki Rangga terdiam. Namun ketika kembali sebuah desir tajam terasa menusuk jantungnya, Ki Rangga pun sudah tidak dapat menunda lagi untuk segera menyampaikan apa yang sedang dialaminya itu kepada Ki Waskita.

“Pergilah ke regol depan Mirah, saat ini aku benar-benar membutuhkan bantuan Ki Waskita.”

Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian sambil bangkit dari bibir pembaringan, “Baiklah Kakang, aku akan pergi ke regol depan. Sekalian aku mohon pamit untuk menengok Bagus Sadewa.”

Ki Rangga tidak menjawab hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk.

Dalam pada itu, di bawah siraman sinar bulan tua yang suram, berpuluh-puluh orang tampak bergerak dengan cepat melintasi padang-padang perdu serta tanah-tanah pesawahan yang kering. Gerakan mereka sangat cepat serta teratur. Mereka bergerak di antara bayangan gerumbul perdu dan pepohonan serta sesekali harus berlindung di balik tanggul-tanggul tinggi  dan parit-parit yang dalam jika berpapasan dengan para pengawal yang sedang meronda. Mereka sengaja melewati jalan-jalan pintas dan tidak melewati jalur jalan seperti biasanya agar segera dapat mencapai tempat tujuan sebelum ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya.

“Masih cukup waktu untuk mencapai kediaman Ki Gede Menoreh sebelum dini hari,” desis salah seorang yang berperawakan tinggi besar dengan gelang-gelang besi di kedua lengannya.

“Kita memang harus berpacu dengan waktu,” jawab kawan di sebelahnya sambil meloncati parit yang cukup dalam, “Sebelum rombongan Ki Gede mencapai regol halaman rumahnya sendiri, seluruh penghuni rumah itu harus sudah terbujur menjadi mayat.”

Orang yang bergelang besi itu tersenyum sambil terus berlari menyusup di antara gerumbul perdu dan berlindung di balik batang-batang pohon yang tumbuh menjulang. Katanya kemudian, “Di manakah Eyang Guru?”

Kawannya tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Sepertinya engkau belum mengenal tabiat Eyang Guru. Dia datang dan pergi sesuka hatinya,” dia berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku yakin sebelum kita mencapai dinding pembatas rumah Ki Gede, Eyang Guru pasti sudah berada di dalam bilik Ki Rangga dan membunuh agul-agulnya Mataram itu dengan tanpa kesulitan sama sekali.”

Orang yang bergelang besi itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai cerita tentang kesaktian Eyang Guru mereka itu memang telah tersebar luas di antara sisa-sisa murid perguruan Nagaraga yang sempat meloloskan diri pada saat pasukan Mataram meluluh lantakan perguruan itu.

“Orang bercambuk yang membunuh Kiai Nagaraga itu sekarang sudah tidak ada lagi,” berkata orang bergelang besi itu dalam hati sambil terus berlari, “Sebagai gantinya Ki Rangga Agung Sedayu sebagi murid utama perguruan bercambuk telah muncul dengan kemampuan ilmunya yang ngedab-edabi. Namun aku yakin, kemampuannya tidak akan melebihi kemampuan Eyang Guru. Apalagi dia sekarang sedang dalam keadaan sakit setelah berperang tanding melawan Panembahan Cahya Warastra. Membunuhnya hanya memerlukan waktu suwe mijet wohing ranti.”

 Mereka kini mulai menyusup padukuhan  induk dari arah timur. Dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan mereka melintasi lorong-lorong gelap dan sepi. Sesekali mereka bahkan harus meloncati dinding-dinding pembatas rumah dan menyeberangi halaman-halaman untuk segera mencapai rumah Ki Gede melalui jalan pintas.

Dalam pada itu di bilik Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Waskita tampak duduk terpekur di atas sebuah dingklik kayu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sementara di pembaringan ki Rangga pun sedang melakukan hal yang sama.

“Engkau benar ngger,” berkata Ki Waskita kemudian sambil menarik nafas dalam dalam dan mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Kita harus bertindak cepat sebelum badai itu melanda seisi rumah ini.”

Ki Rangga Agung Sedayu yang juga telah melepaskan pemusatan nalar dan budinya itu segera menyahut, “Aku mohon Ki Waskita segera memberitahu Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara biarlah Sekar Mirah menemani aku di dalam bilik ini.”

Ki Waskita mengangguk sambil berkata, “Bersyukurlah ngger, engkau telah menerima karunia yang tak terkira. Angger telah diberi kemampuan untuk membaca dan mengurai isyarat tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang, namun dengan sepenuh kesadaran bahwa semua itu tidak mendahului kehendak Sang Maha Pencipta,” Ki Waskita berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Kadang orang-orang mempunyai penafsiran yang salah tentang karunia ini. Apa yang tampak dalam  mata hati kita hanyalah sebuah isyarat. Untuk mengurai isyarat tersebut diperlukan hati yang bening, sebening air dalam belanga yang tenang sehingga akan terlihat apa saja yang berada di dasar belanga tersebut.”

Ki Rangga Agung Sedayu sejenak termangu. Tanyanya kemudian, “Ma’afkan aku Ki Waskita. Apakah ki Waskita dapat memberi aku sedikit petunjuk bagaimanakah caranya agar hati kita ini selalu dalam keadaan bening?”

Ki Waskita tersenyum. Jawabnya kemudian dengan las lasan dan jelas, “Jangan pernah berhenti bibirmu basah dalam mengingat dan menyebut  Asma Yang Maha Agung.”

Ki Rangga Agung Sedayu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas panjang. Sesungguhnyalah dengan setiap saat mengingat kepada Sang Maha Pencipta hati ini akan menjadi tentram.

“Baiklah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya, “Aku akan membangunkan Glagah Putih dan para pengawal yang sedang tidak berdinas jaga. Mereka tidur di gandhok kanan. Akan aku usahakan semua persiapan ini tetap dalam keadaan senyap seolah-olah kita belum mengetahui kedatangan mereka.”

“Terima kasih, Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Pandan Wangi sebaiknya juga diberitahu. Semoga lukanya sudah tidak banyak berpengaruh.”

Ki Waskita tidak menjawab hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala dan melangkah keluar dari bilik.

Dalam pada itu di padukuhan induk Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga sedang menjenguk beberapa pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sedang dalam perawatan Kiai Sabda Dadi.

“Apakah lukanya cukup parah Kiai?” bertanya Ki Gede sambil mengamat-amati seorang pengawal yang sedang terbaring di sebuah amben bambu yang sederhana. Pengawal itu kelihatannya menderita luka di pundak kirinya.

“Sebenarnya lukanya tidak begitu parah Ki Gede,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil meraba daerah di sekitar luka yang tampak membengkak, “Yang aku kawatirkan adalah ada salah satu urat yang berada di sekitar luka ini yang terputus sehingga mengakibatkan tangan kiri pengawal ini agak sulit untuk digerakkan.”

“Apakah memang demikian yang engkau rasakan sekarang ini?” bertanya Ki Gede kepada pengawal yang terluka itu.

“Benar Ki Gede,” jawab pengawal itu sambil meringis menahan sakit ketika Kiai Sabda Dadi mencoba menekan beberapa tempat di sekitar luka itu.

Ki Gede sejenak menarik nafas dalam-dalam. Ki Gede dapat merasakan betapa kegelisahan melanda hati pengawal yang terluka itu. Seandainya memang benar ada urat yang terputus, tidak menutup kemungkinan pengawal itu akan mengalami cacat seumur hidup.

Ki Jayaraga yang berdiri di sebelah Ki Gede tiba-tiba saja bertanya, “Apakah ada kemungkinan urat yang terputus itu dapat disambung kembali, Kiai?”

Kiai Sabda Dadi tidak segera menjawab. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah dia menjawab pertanyaan Ki Jayaraga, “Kemungkinan itu memang ada, Ki. Namun aku harus membedah lagi luka yang sudah menutup ini. Seandainya kemudian urat itu dapat aku sambung kembali, tentu diperlukan waktu yang cukup lama untuk memulihkan kekuatan urat itu seperti sediakala.”

Hampir bersamaan kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Nah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sekarang kami menunggu keputusan Kia Sabda Dadi. Apakah Kiai akan tetap disini untuk sementara ataukah akan kembali ke kediaman Ki Gede bersama-sama kami malam ini juga?”

Kiai Sabda Dadi tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Ki Jayaraga. Sambil memandang ke arah Ki Gede, akhirnya Kakek Damarpati itu pun menjawab, “Maaf Ki Gede, sebaiknya aku tinggal di padukuhan induk ini untuk sementara waktu sambil membantu Tabib keprajuritan yang ditugaskan disini untuk merawat para prajurit yang sedang terluka,” Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Menurut pengamatanku keadaan Ki Rangga sudah berangsur membaik sehingga untuk sementara dapat aku tinggal. Memang sangat luar biasa ketahanan tubuh murid orang bercambuk itu. Rasanya baru kemarin dia mendapatkan luka dalam yang cukup parah, namun hanya dalam waktu yang sangat singkat, dari dalam tubuhnya ada semacam kemampuan yang tidak kasat mata yang mampu untuk mengobati dirinya sendiri.”

Ki Gede dan Ki Jayaraga saling berpandangan sambil menahan nafas. Mereka berdua menjadi semakin kagum dengan kemajuan  ilmu Ki Rangga Agung Sedayu yang semakin pesat. Tidak mengherankan jika semasa hidupnya, Panembahan Senapati  selalu memantau perkembangan ilmu adik Untara itu.

“Swandaru akan semakin jauh tertinggal dari kakak seperguruannya,” berkata Ki Gede dalam hati sambil merenung, “Ilmu Ki Rangga Agung sedayu memang semakin ngedab-edabi. Tidak menutup kemungkinan dalam keadaan terluka parah ini pun dia akan meningkatkan ilmunya lagi.”

Sementara ki Jayaraga yang berdiri di sebelahnya telah membandingkan Ki Rangga dengan saudara sepupunya, Glagah Putih yang telah diangkat menjadi muridnya yang terakhir.

“Memang agak berbeda dasar yang dimiliki oleh Ki Rangga dengan Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga dalam hati, “Ki Rangga mempunyai daya ingat yang luar biasa. Selain itu dalam keadaan apapun Ki Rangga selalu melakukan pengamatan kembali terhadap semua ilmu yang telah di pelajarinya, sehingga semakin hari ilmunya menjadi semakin matang dan meningkat. Namun aku yakin walaupun Glagah Putih tidak memiliki bakat yang luar biasa sebagaimana yang dimiliki oleh kakak sepupunya, kesempatan baginya untuk berkembang masih terbuka luas.”

“Baiklah,” berkata ki Gede kemudian membuyarkan lamunan Ki Jayaraga, “Kita akan segera kembali. Rasa-rasanya hati tua ini kadang digelisahkan oleh sesuatu hal yang tidak ada ujung pangkalnya.”

“Benar Ki Gede,” sahut ki Jayarag dengan serta merta, “Sepertinya kita sedang meninggalkan kanak-kanak bermain di pinggir sungai. Setiap saat dapat terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.”

Kiai Sabda Dadi tersenyum mendengar perkataan kedua orang tua itu. Katanya kemudian, “Tapi bukankah mereka yang kita tinggalkan itu sudah bukan kanak-kanak lagi?”

“Ah,” kedua orang tua itu hampir berbareng telah berdesah. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Namun sebaiknya kita tetap berhati-hati dalam keadaan seperti ini. Tidak menutup kemungkinan masih banyak pengikut Panembahan Cahya Warastra yang berkeliaran di sekitar Tanah Perdikan ini. Atau mungkin justru ada pihak lain yang ingin mengambil keuntungan di saat seperti ini.”

“Ki Jayaraga benar,” ki Gede menambahkan, “Walaupun di rumah ada Ki Waskita, Glagah Putih dan yang lainnya, namun entah apa sebabnya, sedari tadi hatiku menjadi gelisah. Atau mungkin ini hanya perasaan orang tua saja yang sudah mulai mendekati pikun.”

“Ah, tentu tidak Ki Gede,” jawab Kiai Sabda dadi dengan serta merta, “Kegelisahan yang dialami oleh Ki Gede tentu sangat berbeda dengan kegelisahan yang dirasakan oleh orang kebanyakan. Aku sarankan memang sebaiknya Ki Gede dan ki Jayarag segera kembali.”

Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Berkata Ki Gede kemudian, “Baiklah Kiai, kami berdua segera minta diri. Jika ada sesuatu hal yang sangat penting di padukuhan induk ini, Kiai dapat menghubungi Lurah prajurit yang ditugaskan sementara disini untuk mengirimkan penghubung, demikian juga kami akan melakukan sebaliknya.”

“Baik Ki Gede,” jawab Kiai Sabda dadi sambil melangkah mengantarkan kedua orang tua itu keluar dari rumah yang sedang digunakan sementara untuk balai pengobatan.

Dalam pada itu di regol depan kediaman Ki Gede, para pengawal yang sedang berjaga telah dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang sudah sangat renta yang seakan-akan muncul begitu saja dari dalam kegelapan dan berjalan tertatih-tatih mendekati regol.

Dalam kesuraman cahaya lampu dlupak yang disangkutkan di kanan-kiri regol, tampak seraut wajah yang sudah penuh dengan keriput. Rambutnya yang putih seperti kapas itu terjulur di bawah ikat kepalanya yang lusuh.

Beberapa pengawal segera turun dari gardu dan melangkah mendekati orang tua renta itu.

“Kek,” sapa salah satu pengawal begitu sampai di depan orang tua renta yang sedang berdiri termangu-mangu di depan regol, “Kakek ini siapa? Dan mengapa malam-malam begini berkeliaran di sini?”

bersambung ke bagian 2

22 Responses

  1. Agung Sedayu yang pada dirinya sedang terlebur Aji Sapta Panggrainya ke dalam Ilmu Kebalnya, sekonyong-konyong menyadari bahwa dirinya telah pulih sepenuhnya. Bahkan, panggraitanya yang telah sampai pada tataran paripurna telah menuntunnya menelusuri puncak-puncak tertinggi ilmunya untuk membuka kemungkinan lahirnya ilmu baru pada dirinya.

    • … Tiba tiba terungkap ajian kakang pembarep dan adi wuragil. Agung Sedayu dalam wujudnya telah terpecah menjadi tiga wujud, namun anehnya tiga wujud agung sedayu itu bukan lagi ujud semu, namun kakang dan adi dalam ujud yang sebenarnya. Sungguh kurnia yang luar biasa yang diterima oleh Agung Sedayu.

    • Dalam penelusuran puncak ilmunya tiba tiba terungkap ajian kakang pembarep dan adi wuragil. Agung Sedayu dalam wujudnya telah terpecah menjadi tiga wujud, namun anehnya tiga wujud agung sedayu itu bukan lagi ujud semu, namun kakang dan adi dalam ujud yang sebenarnya. Sungguh kurnia yang luar biasa yang diterima oleh Agung Sedayu.

  2. Menunggu bayangan hitam melayang di tiup angin…..to be continued….waiting for Anjani

  3. aduh myantaab tenan, lanjutkan

  4. akan lebih menarik jika ide Ki Agus diserap dalam ide ceritanya mbah-man. Dalam ceritanya mbah man lebih terkesan bahwa Agung Sedayu hanyalah sosok prajurit yang condong pada tenaga/ilmu kanuragan. Mohon jangan membuat kesan bahwa Agung Sedayu hanya diperalat/diperas tenaganya oleh pihak mataram.

  5. Menunggu anjani…

  6. anjani sedang masak untuk sarapan pagi….heheheheh

  7. jangan lama – lama ya…

  8. bagaimana dengan ceritanya Glagah putih dan rara wulan dengan ajiannya yang misterius , mohon diceritakan kembali kehebatannya ajaran yg misterius, nuwun

  9. Matur nuwun, mbah Man…

  10. Tak bosan-bosannya membaca ulang sembari berharap cerita lanjutannya segera kawedhar…. matur sembah nuwun, mbah Man…

  11. sembah sungkem dumateng mbah Man . . . mugi tansah pinaringan seger kuwarsan lahir batin . . . suwun

  12. Lama banget siiih nunggu terusan nya….?

  13. Mbah Man, sampun kangen niki kalian lanjutanipun. Matur nuwun.

  14. Bagaikan disengat ribuan kalajengking, para pengawal itu pun menjadi sangat terkejut begitu mengenali orang yang sedang berdiri di depan gardu penjagaan itu…..( gimana rasanya disengat ribuan kolojengking ???? Susah ngebayangin ya Mbah man )

  15. Raden mas rangsang adalah cucunya panembahan Senopati,sedangkan agung Sedayu adalah teman pengembaraan panembahan senopati yang umurnya gak jauh beda tipis ? . Berarti agung Sedayu sudah jadi kakek2 dong…… Yang saya gak paham kenapa seorang cucu (Raden rangsang) ngasih putri triman ke teman kakeknya (Simbah agung Sedayu) dan yang anehnya Mbah agung Sedayu menjadi rebutan cewek2 cakep nan sakti

  16. Sang saya suwe tambah gayeng mbah, opo maneh saat pandemi, hiburane TV, otuwo TADBM

  17. Matur nuwun Mbah Man, saya semakin hanyut mengikuti TADBM ini…

Leave a reply to cholid effendi Cancel reply