STSD-31

kembali ke STSD-30 | lanjut ke STSD-32

Bagian 1

Dalam pada itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang berada di longkangan sama sekali tidak menyadari bahwa ada seseorang yang telah memasuki bilik Sekar Mirah. Suara derit pintu bilik itu cukup halus dan hanya sesaat sehingga membuat kedua perempuan linuwih itu tidak mendengar. Apalagi saat itu keduanya sedang diamuk dan diguncang oleh perasaan masing-masing sehingga telah menurunkan kewaspadaan mereka.

Namun naluri seorang ibu terhadap anaknya tidaklah dapat dipungkiri lagi. Hubungan antara ibu dengan anak tidak dapat dijelaskan dengan landasan ilmu apapun. Hubungan rumit dan saling terkait yang memang telah dianugerahkan oleh Yang Maha Agung kepada para ibu dan anak-anak mereka.

“Bagus Sadewa?!” tiba-tiba Sekar Mirah berseru tertahan dengan jantung berdentang keras. Seketika wajah Sekar Mirah menjadi pucat pasi dan tubuhnya bergetar hebat. Entah apa penyebabnya Sekar Mirah sendiri tidak mengerti.

“Ada apa Mirah?” bertanya Pandan Wangi yang duduk di sebelahnya ikut terkejut dan berpaling.

Namun Sekar Mirah sudah tidak memperdulikan apapun lagi. Bagaikan dikejar seribu hantu gentayangan yang akan menghisap darahnya, Sekar Mirah pun meloncat sambil menyingsingkan kain panjangnya berlari kembali ke bilik.

Tidak ada yang dapat dilakukan Pandan Wangi selain ikut bangkit dari duduknya dan kemudian ikut berlari mengejar adik iparnya itu.

Sepanjang teritisan menuju ke bilik di gandhoknya, tak henti hentinya Sekar Mirah menjerit menyebut-nyebut nama anaknya. Kediaman Ki Gede Menoreh yang semula sepi pun menjadi gempar. Beberapa pelayan telah terbangun dan kebingungan mendengar jerit Sekar Mirah. Sementara para pengawal yang sedang berjaga di gardu depan telah meraba hulu senjata masing-masing.

“Ada apa, kakang?” bertanya seorang pengawal yang berkulit agak gelap kepada kepala pengawal jaga malam itu.

Kepala pengawal jaga itu sejenak mengerutkan keningnya sambil berpikir. Sementara para pengawal lainnya sedang menunggu keputusannya.

“Kita tunggu sejenak,” berkata kepala pengawal itu pada akhirnya yang membuat para pengawal menjadi berdebar debar.

“Tapi suara jeritan itu seperti suara Nyi Sekar Mirah,” desis pengawal berkulit gelap itu kembali.

Kepala pengawal itu menggeleng sambil berkata, “Apa yang dapat kita lakukan untuk menolong Nyi Sekar Mirah? Justru kita nanti yang akan merepotkannya.”

Para pengawal hanya dapat saling pandang sambil menarik nafas dalam-dalam. Namun pengawal berkulit gelap itu kembali mendesak, “Apapun yang terjadi, sebaiknya kita lihat untuk menentukan langkah kita selanjutnya.”

Kembali kepala pengawal itu termenung sejenak. Berkata kepala pengawal itu pada akhirnya, “Baiklah. Dua orang ikuti aku!”

Selesai berkata demikian, kepala pengawal itu dengan sedikit bergegas segera melangkah menyeberangi halaman menuju ke longkangan. Dua orang pengawal pun dengan setengah berlari segera menyusul.

Dalam pada itu jerit Sekar Mirah terdengar semakin keras dan lantang. Memang Sekar Mirah yang seperti sedang kesurupan itu telah mendorong pintu biliknya dengan tergesa tega. Jeritannya pun membahana kembali begitu tidak melihat anak laki-laki semata wayangnya di atas ranjang.

“Bagus Sadewa..?! Bagus Sadewa..?! Di mana kamu ngger?!” kembali Sekar Mirah berteriak teriak sambil mengobrak abrik selimut di atas ranjang. Namun Bagus Sadewa tidak terlihat batang hidungnya.

Pandan Wangi yang telah menyusul ke bilik sejenak berhenti di tengah-tengah pintu. Pandangannya nanar menyapu ke seluruh ruangan.

Tampak Rara Wulan yang terlihat tertidur pulas di atas ranjangnya. Sedangkan Damarpati tidur bergelung dalam selimutnya di atas lantai bilik beralaskan tikar pandan dekat ranjang Bagus Sadewa.

“Aneh,” gumam Pandan Wangi sambil memperhatikan Sekar Mirah yang berteriak teriak sambil mengobrak abrik selimut dan kain panjang di atas ranjang, “Rara Wulan kemampuannya tidak berselisih terlalu banyak jika dibanding dengan kami berdua, bahkan mungkin dia sudah mampu melewati kami berdua. Tetapi mengapa dia sama sekali tidak terbangun mendengar ribut-ribut ini?”

Belum sempat Pandan Wangi menemukan jawaban atas keanehan yang terjadi di dalam bilik itu, ternyata Sekar Mirah sambil menangis dan berteriak tidak karuan telah membuka geledek yang ada di sudut. Sejenak kemudian di tangan kanan istri Ki Rangga Agung Sedayu itu telah tergenggam senjata ciri khas perguruan besar di jaman Demak lama, perguruan Kedungjati.

“Mirah!” seru Pandan Wangi sambil berlari mendapatkan Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah sudah tidak mendengar apa-apa lagi kecuali gemuruh dalam dadanya. Dengan menyingsingkan kain panjangnya setinggi lutut dengan tangan kirinya, Sekar Mirah pun meloncat keluar kamar sambil mengayun ayunkan tongkat baja putih di tangan kanannya.

“Minggir! Minggirlah mbokayu! Aku akan meremukkan kepala orang yang sudah berani menculik anakku!”

Menyadari peringatannya tidak akan ada gunanya, Pandan Wangi pun memilih menyingkir ketika Sekar Mirah lewat. Sejenak kemudian bayangan Sekar Mirah pun telah hilang keluar bilik meninggalkan Pandan Wangi yang berdiri termangu mangu.

Sepeninggal Sekar Mirah, Pandan Wangi mencoba membangunkan Rara Wulan, namun usahanya sia-sia belaka. Istri Glagah Putih itu seperti sedang mabok bunga kecubung sehingga benar-benar sulit untuk disadarkan.

“Aku akan mencoba membangunkan Damarpati,” gumam Pandan Wangi kemudian sambil bergeser mendekati Damarpati. Namun ternyata hasilnya sama saja. Gadis kecil cucu Kiai Sabda Dadi itu juga terlihat sangat pulas tidurnya.

“Ini pasti ulah orang yang telah menculik Bagus Sadewa!” geram Pandan Wangi kemudian. Begitu menyadari pasti seseorang yang berilmu sangat tinggi telah mendatangi bilik Sekar Mirah, Pandan Wangi pun mengkhawatirkan nasib Sekar Mirah yang telah berlari keluar bilik.

Berpikir sampai disitu, Pandan Wangi segera ikut menyingsingkan kainnya sebatas lutut sambil berlari keluar bilik. Namun Pandan Wangi masih dapat berpikiran jernih sehingga telah menyempatkan diri untuk menutup pintu bilik sebelum mengejar Sekar Mirah.

Dalam pada itu Ratri yang sedang berada di dalam pakiwan ternyata telah mendengar juga suara ribut-ribut itu. Dengan segera dikenakan kembali kain panjangnya. Sambil menjinjing dlupak di tangan kanan, tangan kirinya pun dengan bergesas membuka pintu pakiwan.

Sejenak cahaya dlupak di tangan Ratri pun menyinari halaman belakang rumah Ki Gede Menoreh. Sekar Mirah yang sedang berlari turun dari teritisan itu segera melihat Ratri yang berdiri di depan pakiwan sambil menjinjing dlupak.

Tanpa berpikir panjang Sekar Mirah segera berlari mendapatkan Ratri. Namun langkahnya menjadi tertahan ketika sudut matanya melihat sesuatu yang mendebarkan.

Di bawah siraman cahaya lampu dlupak yang sinarnya menggapai tidak lebih dari tiga tombak itu, sudut mata kiri Sekar Mirah menangkap bayangan seseorang yang sepertinya sedang menggendong sesuatu. Langkah Sekar Mirah pun berbelok arah.

Pandangan mata Sekar Mirah yang tajam melebihi orang kebanyakan itu ternyata telah mengenali anaknya, Bagus Sadewa. Tampak anak itu sedang tertidur pulas dalam gendongan kakek tua renta yang berpakaian compang camping. Sekar Mirah pun berteriak meradang sambil memutar senjata di tangan kanannya.

“Kembalikan anakku! Penculik busuk!” teriak Sekar Mirah sambil berlari mendapatkan kakek tua renta yang tak lain adalah Maharsi.

“Mirah! Jangan!” tiba-tiba terdengar teriakan Pandan Wangi dari arah belakang. Namun Sekar Mirah sudah tidak mampu berpikir jernih lagi. Dengan sebuah loncatan panjang tongkat baja putih di tangan kanannya terayun deras menerjang kepala Maharsi.

“Nyi Sekar Mirah! Jangan! Berbahaya!” orang yang berdiri di bawah pohon jambu itu pun ternyata juga telah berteriak memperingatkan Sekar Mirah. Namun apa mau dikata, Sekar Mirah sudah meloncat menerjang dengan segenap kemampuannya.

Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan. Maharsi tampak tenang saja memutar sedikit tubuhnya ke arah datangnya serangan. Sebelum serangan itu benar-benar datang, tangan kiri Maharsi terangkat ke depan dengan jari-jari mengembang. Sejenak kemudian serangkum hawa dingin memabokkan menebar dan menyergap wajah Sekar Mirah.

Sekar Mirah hanya merasakan udara yang sangat sejuk menerpa wajahnya. Sejenak penalarannya menjadi terganggu. Tubuhnya yang sudah terlanjur meloncat ke depan itu tiba-tiba limbung ke samping.

Dengan sekuat tenaga Sekar Mirah mencoba melawan pengaruh kantuk luar biasa yang tiba-tiba mencengkeram otaknya. Namun Sekar Mirah sudah tidak mampu lagi menggunakan otaknya dengan baik sehingga keseimbangannya pun terganggu.

Untunglah Pandan Wangi yang sedari tadi telah berhasil menyusul di belakangnya segera menangkap tubuh yang limbung itu. Namun karena Pandan Wangi sedang tidak memakai pakaian khususnya, kain panjangnya telah mengganggu untuk memasang kuda-kuda yang kuat. Akibatnya kedua perempuan itu pun jatuh bergulingan di atas tanah. Tongkat baja putih Sekar Mirah pun terlempar entah jatuh di mana.

“Nyi Sekar Mirah..! Nyi Pandan Wangi..!” terdengar teriakan penuh kekhawatiran dari Ratri yang melihat kejadian itu dari tempatnya. Namun gadis Matesih itu tidak berani bergerak. Rasa rasanya seluruh persendian tubuhnya telah membeku.

Dalam pada itu orang yang sedang berdiri di bawah bayangan pohon jambu itu segera melangkah mendekat. Pandan Wangi pun segera mengenalinya sebagai Kiai Sabda Dadi.

“Kiai?” seru Pandan Wangi kemudian sambil berusaha bangkit dan kemudian memangku kepala Sekar Mirah yang terlihat seperti sedang pingsan.

“Ya, nyi. Ini aku,” jawab Kiai Sabda Dadi sambil melangkah lebih dekat lagi. Kini kedua orang tua itu tampak berhadap hadapan tidak lebih dari lima langkah.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian, “Ternyata panggraita orang tua seperti aku ini masih dapat diandalkan. Apa yang aku rasakan sebelum meninggalkan kediaman Ki Gede Menoreh ternyata benar adanya. Untuk itulah aku telah memutuskan kembali dan melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi.”

Maharsi tiba-tiba tertawa terkekeh kekeh. Sambil menimang nimang Bagus Sadewa dalam gendongannya, dia justru telah bertanya, “Apa hubungan Ki Sanak dengan anak ini? Sejauh pengetahuanku anak ini adalah anak Ki Rangga Agung Sedayu. Apakah Ki Sanak kakeknya atau pamannya atau hubungan apa saja yang mungkin ada?”

Kiai Sabda Dadi mengerutkan keningnya. Sebuah desir lembut telah menyentuh jantungnya.

“Kakek tua renta ini ternyata mengetahui bahwa Bagus Sadewa adalah anak Ki Rangga,” membatin Kiai Sabda Dadi sambil terus mengawasi gerak-gerak Maharsi, “Agaknya sebuah dendam lama telah dibawa oleh kakek ini ke Menoreh.”

“He? Mengapa Ki Sanak diam saja?” tiba-tiba Maharsi berseru membangunkan lamunan Kiai Sabda Dadi.

Sejenak Kiai Sabda Dadi menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Aku Kiai Sabda Dadi, bukan sanak bukan kadang dengan Ki Rangga, namun aku tidak akan membiarkan sebuah perbuatan terkutuk terjadi di hadapanku. Menculik seorang anak adalah perbuatan nista, apapun alasannya!”

“Ah,” terdengar Maharsi tertawa renyah. Seolah olah perbuatannya itu hanyalah sekedar main-main. Katanya kemudian, “Nah, kalau Kiai tidak punya hubungan apa-apa dengan anak ini, mengapa Kiai berani bersilang jalan denganku? Aku Maharsi pertapa dari Goa Langse sedang menuntut keadilan kepada Ki Rangga.”

“Menuntut keadilan kepada Ki Rangga?” tanpa sadar Kiai Sabda Dadi mengulang kata-kata Maharsi dengan nada penuh keheranan.

“Kiai tidak tahu permasalahannya!” terdengar Maharsi menjawab dengan nada yang berat dan dalam, “Panggil Ki Rangga! Aku hanya mau berbicara dengan Ki Rangga!”

Terkejut Kiai Sabda Dadi. Sementara Pandan Wangi yang sedang bersimpuh memangku kepala Sekar Mirah pun tak kalah terkejutnya. Kembali dendam yang tak berujung pangkal membelit Ki Rangga.

“Maaf Maharsi,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian ketika rasa terkejutnya sedikit berkurang, “Ki Rangga tidak ada di tempat. Mungkin Ki Rangga masih di Mataram menunaikan tugas keprajuritan,” Kiai Sabda Dadi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Jika Maharsi berkepentingan dengan anak itu, Maharsi dapat berbicara dengan ibunya.”

Tampak kerut merut di dahi Maharsi. Dengan nada sedikit ragu-ragu dia kemudian bertanya, “Yang mana ibunya?”

Selesai berkata demikian Maharsi segera berpaling ke arah Pandan Wangi yang sedang memangku kepala Sekar Mirah.

“Perempuan yang telah Maharsi lumpuhkan itulah ibu anak itu,” sahut Kiai Sabda Dadi cepat.

“Nyi Rangga Agung Sedayu?”

“Benar Maharsi,” jawab Kiai Sabda Dadi dengan nada berat dan dalam.

Sejenak tampak keragu-raguan dari wajah Maharsi yang dapat ditangkap oleh kakek Damarpati itu walaupun hanya sekilas. Namun Maharsi segera tertawa tergelak. Katanya kemudian, “Apa peduliku! Aku hanya berurusan dengan Ki Rangga. Jadi sudah sewajarnya jika aku mengambil anaknya ini. Adapun Nyi Rangga jika berkeberatan, dapat menyusul aku ke Goa Langse.”

“Tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar seruan keras dari arah dapur. Ketika orang-orang itu berpaling, tampak Ki Gede Matesih bersama Ki Gede Menoreh sedang berlari menuju ke tempat itu sambil menjinjing tombak pusaka masing-masing.

“O,” terdengar Maharsi tertawa renyah sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Agaknya kalian semua ingin memaksa aku untuk menyerahkan kembali bayi ini. Ketahuilah kalian semua, jika Maharsi sudah berkehendak, tidak ada seorang pun yang berhak untuk mencegah. Kecuali kalian mampu mengatasi ilmu dari perguruan Goa Langse.”

Tergetar setiap dada yang berada di halaman belakang itu. Kata-kata Maharsi itu terdengar begitu meyakinkan walaupun kebanyakan mereka belum pernah mendengar kedahsyatan ilmu perguruan Goa Langse. Sedangkan Kiai Sabda Dadi yang telah kenyang malang melintang dari ujung ke ujung tanah itu pun hanya pernah mendengar sekilas cerita tentang para penghuni Goa Langse.

Dalam pada itu Ki Gede Menoreh ternyata telah mendekati Pandan Wangi terlebih dahulu. Katanya kemudian kepada Pandan Wangi yang sedang memangku kepala Sekar Mirah, “Wangi, bawalah angger Sekar Mirah kembali ke bilik. Selanjutnya engkau harus bersiap menghadapi keadaan yang tak terduga ini.”

Pandan Wangi tanggap. Dengan mengerahkan sedikit tenaga cadangannya, dia segera mendukung Sekar Mirah dan membawanya menyingkir. Sementara Ki Gede Menoreh yang melihat tongkat baja putih Sekar Mirah tergeletak tak jauh dari tempat itu, segera mengambil dan menitipkan kepada Pandan Wangi.

Sepeninggal Pandan Wangi, Ki Gede Menoreh segera menempatkan diri di sebelah kanan Maharsi. Sementara Ki Gede Matesih yang sedari tadi memegang erat-erat tombak pusaka Kiai Singkir Geni, terlihat telah menempatkan diri di sebelah kiri Maharsi.

“O, kalian akan mengeroyok aku?” bertanya Maharsi kemudian disambung dengan suara tawanya yang terkekeh kekeh. Ketiga orang tua itu pun hanya dapat saling pandang sejenak.

Menyadari kedudukan ketiga orang itu tidak menguntungkan dengan adanya Bagus Sadewa dalam gendongan Maharsi, Kiai Sabda Dadi segera melangkah ke depan sambil berkata, “Maharsi. Aku mohon lepaskan terlebih dahulu bayi itu. Jika kita akan mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang, kami tidak akan berkeberatan asalkan bayi itu tidak dijadikan sandera oleh Maharsi.”

Terlihat wajah yang berkeriput itu semakin keriput. Bentaknya kemudian menggelegar, “He! Apa katamu? Aku akan menggunakan bayi ini sebagai sandera? Jangan terlalu memandang rendah jiwa kejantananku. Kalau kita akan bertempur, marilah aku layani sampai kalian semua terkapar tak berdaya,” Maharsi berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun sayangnya aku sedang tidak berselera untuk berkelahi malam ini. Kalian sama sekali tidak sepadan dengan ilmuku. Hanya buang-buang waktu saja. Kecuali Ki Rangga hadir di tempat ini. Dengan senang hati akan aku hadapi Ki Rangga satu lawan satu sebagaimana laku para jantan. Bukan main keroyokan seperti sekarang ini.”

Berdesir dada ketiga orang tua itu. Namun dengan cepat mereka berusaha mengabaikan semua itu. Keselamatan Bagus Sadewa di atas segala galanya.

“Maaf Maharsi,” sekarang Ki Gede Menoreh yang maju selangkah, “Kami bertiga hadir di tempat ini bukan untuk memasuki sayembara perang tanding. Kami hadir untuk mencegah sebuah tindak kejahatan yang tidak dapat dibenarkan oleh paugeran apapun. Serahkan Bagus Sadewa dan kami menganggap semua hanyalah kesalah-pahaman dan Maharsi dapat meninggalkan tempat ini dengan aman.”

Segera saja terdengar kembali gelak tawa Maharsi. Suara tawanya terdengar membahana sehingga telah mengejutkan kepala pengawal dan dua orang anak buahnya yang sedang mengadakan penyelidikan lewat longkangan.

“Kakang?” bisik salah satu pengawal sambil merapatkan tubuhnya ke dinding longkangan, “Aku tadi mendengar suara Ki Gede Menoreh dan juga suara Kiai Sabda Dadi. Agaknya kita tidak diperlukan lagi untuk hadir di halaman belakang.”

“Ah, engkau dari dulu memang pengecut!” geram kawan di sebelahnya sambil mencoba maju lagi beberapa langkah mendekati pemimpinnya yang sudah berada di ujung longkangan, “Siapapun yang telah hadir di halaman belakang, kita sebagai pengawal jaga malam ini harus tetap ikut mengawasi.”

“He? Apa katamu?” ganti pengawal itu yang menggeram sambil meludah, “Engkaulah yang pengecut itu. Aku hanya memberikan pertimbangan kepada kakang Dadap dan engkau sudah berani memaki aku sebagai pengecut!”

“Sudahlah! Sudahlah!” kali ini pemimpin pengawal itu yang menggeram sambil berpaling ke belakang, “Keadaan semakin gawat dan kalian malah ribut sendiri. Salah satu dari kalian kembali ke gardu depan. Beritahu apa yang sedang terjadi di sini dan tingkatkan kewaspadaan. Siapa tahu ada penyusup lain yang berusaha memanfaatkan kekisruhan ini.”

Perintah itu tidak perlu diulangi. Keduanya justru telah berebut untuk kembali ke gardu depan. Pemimpin pengawal itu pun hanya dapat menggeleng gelengkan kepalanya.

Dalam pada itu, ketiga orang tua itu ternyata telah bersiap untuk mengatasi setiap perubahan keadaan. Kaki-kaki telah bergerak merenggang sedangkan tangan-tangan pun telah siap menghadapi serangan sedahsyat apapun.

Tiba-tiba dalam benak ketiga orang tua itu telah terbersit kembali sebuah kekhawatiran akan keselamatan Bagus Sadewa. Maka Kiai Sabda Dadi kembali berusaha membujuk Maharsi untuk menyerahkan bayi dalam gendongannya.

Berkata Kiai Sabda Dadi kemudian, “Maharsi, dengan segala hormat, tolong serahkan bayi itu kepada gadis yang berdiri dekat pakiwan itu. Dia akan menjadi saksi bahwa kita masing-masing akan berlaku jujur. Jika Maharsi menghendaki perang tanding satu lawan satu, biarlah aku yang akan turun ke gelanggang. Namun bayi itu harus dijauhkan dari arena perang tanding ini.”

Untuk sesaat Maharsi tampak berpikir. Ketika dia kemudian mengalihkan perhatiannya ke arah Ratri, tampak keningnya sekilas berkerut. Katanya kemudian, “Gadis yang cukup berbakat. Aku setuju jika bayi ini ditukar dengan gadis itu.”

“Tidak, Maharsi, tidak bisa!” tiba-tiba Ki Gede Matesih yang sedari tadi hanya berdiam diri segera berseru keras sambil maju setapak, “Aku tidak akan merelakan jika Ratri yang engkau bawa!”

Maharsi berpaling ke arah Ki Gede Matesih sambil kembali mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Ada hubungan apa Ki Sanak dengan gadis itu?”

“Dia putriku!” sahut Ki Gede Matesih dengan serta merta, “Aku tidak akan merelakan anak gadisku dibawa pergi!”

Tampak Maharsi berpikir keras sambil memandang ke sekelilingnya. Sambil mengangguk anggukkan kepalanya Maharsi pun kemudian berkata, “Nah, jika memang tidak ada yang mau menjadi pengganti anak Ki Rangga ini, aku akan tetap membawanya walaupun kalian seisi tanah perdikan ini akan menghalangiku. Rawe rawe rantas malang malang putung!”

Selesai berkata demikian tiba-tiba saja Maharsi melangkahkan kakinya dengan tenang seolah tidak dihiraukannya keberadaan orang-orang di sekitarnya.

“Tunggu dulu Maharsi!” tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan dari arah dapur. Ketika orang-orang itu kemudian berpaling, tampak Pandan Wangi dengan pakaian khususnya dan sepasang pedang di lambung sedang berlari mendekat.

“O, bertambah lagi orang yang akan mengeroyokku,” berkata Maharsi sambil tertawa hambar, “Sekali lagi aku katakan. Malam ini aku sedang tidak bernafsu untuk berkelahi. Jika kalian ingin berkelahi, berkelahilah sendiri. Aku akan pergi!”

Selesai berkata demikian Maharsi segera melangkah kembali. Ketiga orang tua itu pun ikut bergerak merapatkan kepungan mereka.

Sementara Pandan Wangi yang baru tiba segera mengambil tempat di belakang Maharsi. Maharsi sekarang benar-benar berada dalam kepungan.

Melihat orang-orang itu mulai merapatkan kepungan, Maharsi hanya mendengus pendek. Sejenak dia menghentikan langkahnya. Hanya sekejap Maharsi terlihat memusatkan segenap nalar dan budinya. Sebelum orang-orang itu menyadari apa yang akan dilakukan Maharsi, tiba-tiba saja tubuh Maharsi bersama Bagus Sadewa dalam gendongannya menghilang dari pandangan orang-orang yang mengepungnya.

“Maharsi!” serentak orang-orang yang mengepungnya itu pun berteriak terkejut bukan alang kepalang. Tak terkecuali Ratri yang masih berdiri dengan lutut gemetar di samping pakiwan.

Namun belum sempat mereka berpikir bagaimana untuk menemukan Maharsi yang menghilang itu, terdengar suara yang sudah sangat mereka kenal berkata perlahan namun cukup jelas terdengar di telinga masing-masing, “Biarkan Maharsi pergi, aku akan menyusulnya!”

“Ki Rangga Agung Sedayu?!” hampir serentak orang-orang di tempat itu telah menyebut sebuah nama.

“Syukurlah!” seru Ki Gede Menoreh kemudian. Bagaikan diguyur banyu sewindu, dada mereka yang semula bergemuruh terasa telah reda dan tenang kembali walaupun masih tetap ada kekhawatiran akan keselamatan Ki Rangga.

“Semoga Ki Rangga dapat mengatasi keadaan,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian sambil melangkah mendekat.

“Marilah, Kiai,” sambut Ki Gede Menoreh kemudian sambil berjalan menjajari Kiai Sabda Dadi, “Kita tengok keadaan Sekar Mirah. Mungkin Kiai dapat memberikan sedikit pertolongan.”

Kiai Sabda Dadi mengangguk sambil tersenyum. Ketika dia kemudian melemparkan pandang matanya ke pakiwan, tampak Ratri dibimbing Pandan Wangi dan ayahnya berjalan meninggalkan tempat itu.

“Kembalikan anakku! Penculik busuk!” teriak Sekar Mirah sambil berlari mendapatkan kakek tua renta yang tak lain adalah Maharsi.

“Marilah kita lihat keadaan Sekar Mirah,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil berpaling ke arah orang-orang yang terlihat meninggalkan pakiwan. Orang-orang pun mengikuti saja langkah Ki Gede Menoreh.

Sesampainya mereka di bilik Sekar Mirah, tampak Kiai Sabda Dadi terkejut bukan alang kepalang begitu membuka pintu bilik. Terlihat Damarpati yang tidur meringkuk berselimutkan kain panjang di dekat ranjang Sekar Mirah. Sementara di atas ranjang tergolek Sekar Mirah tak sadarkan diri.

Ketika Kiai Sabda Dadi kemudian melangkah masuk, pandangan matanya pun segera melihat Rara Wulan yang juga sedang tertidur pulas di atas ranjangnya. Sementara yang lainpun segera ikut masuk.

“Agaknya Maharsi telah menebar semacam sirep di bilik ini,” desis Kiai Sabda Dadi sambil mendekati ranjang Sekar Mirah dan kemudian duduk di tepi ranjang.

“Ki Gede,” berkata Kiai Sabda Dadi kemudian, “Menilik keadaan Sekar Mirah yang baru saja terkena pengaruh sirep, agak sulit untuk membangunkannya. Biarlah dia tertidur pulas beberapa saat. Aku akan mencoba membangunkan Damarpati dan Rara Wulan terlebih dahulu.”

“Silahkan Kiai,” berkata Ki Gede kemudian sambil menyandarkan tombak pusakanya di dinding. Ki Gede Matesih pun segera berbuat serupa.

Kiai Sabda Dadi pun kemudian segera turun dari ranjang dan berjongkok dekat cucunya yang tertidur pulas. Setelah memijat kedua telapak kaki Damarpati beberapa saat, tampak cucunya itu mulai menggeliat dan berdesah perlahan.

“Damarpati, bangunlah, nak!” berkata Kiai Sabda Dadi sambil mengguncang guncang kaki cucunya itu perlahan lahan agar tidak mengejutkannya.

Agaknya Damarpati sudah mulai menyadari dirinya sehingga dia telah membuka kedua matanya. Alangkah terkejutnya dia begitu mendapatkan beberapa orang sedang berdiri mengelilinginya.

Namun ketika terlihat kakeknya sedang berjongkok sambil tersenyum kearahnya, hati Damarpati pun menjadi sedikit tenang.

“Ada apa, kek?” tanyanya kemudian sambil bangkit dari tidurnya.

Kakeknya hanya tersenyum sambil beranjak ke tempat Rara Wulan.

Orang-orang pun mengikutinya.

Ternyata membangunkan Rara Wulan lebih mudah. Ketahanan tubuh serta kemampuan olah kanuragan yang tinggi telah membuat Rara Wulan segera terbangun ketika Kiai Sabda Dadi menyentuh telapak kakinya.

Pandan Wangi yang berdiri paling dekat segera merangkul Rara Wulan sambil berbisik, “Tenanglah Rara, tidak ada apa-apa. Rara hanya tertidur terlalu lelap agaknya.”

Namun Rara Wulan adalah perempuan yang berkemampuan tinggi sehingga dia segera teringat apa yang telah terjadi sebelum dirinya jatuh tertidur.

“Kakek tua itu? Di mana dia?” tanyanya dengan suara bergetar sambil melepaskan rangkulan Pandan Wangi.

Tepat pada saat itu terdengar langkah-langkah mendekati bilik Sekar Mirah. Ketika semua orang berpaling, tampak Ki Rangga sambil menggendong Bagus Sadewa yang terlelap memasuki bilik.

“Syukurlah!” semua orang yang berada di dalam bilik itu pun berseru gembira.

Tiba-tiba Kiai Sabda Dadi yang masih berdiri di dekat ranjang Rara Wulan segera menyambut Ki Rangga. Bisik kakek Damarpati itu sambil mengiringi langkah Ki Rangga, “Bagaimana dengan Maharsi?”

Ki Rangga tersenyum sekilas sambil menjawab juga dengan berbisik, “Semua akan baik-baik saja, Kiai.”

Sedangkan Pandan Wangi yang melihat Ki Rangga menggendong Bagus Sadewa segera ikut mendekat. Dengan cepat Pandan Wangi menyambut Ki Rangga dan meminta Bagus Sadewa dalam gendongan Ki Rangga.

Sejenak kedua pasang mata itu bertemu. Entah getaran apa yang merambat dalam dada masing-masing. Yang jelas sebuah senyum tersungging di bibir Pandan Wangi. Senyum yang bagi Ki Rangga mengandung seribu makna.

“Biarlah aku gendong Bagus Sadewa,” berkata Pandan Wangi mengalihkan perhatian agar jantungnya yang melonjak lonjak tidak sempat diketahui oleh Ki Rangga, “Sebaiknya kakang segera menolong Sekar Mirah.”

Ki Rangga segera mengulurkan Bagus Sadewa dalam gendongannya. Dua pasang tangan yang sempat bersentuhan walaupun hanya sekejap itu ternyata telah membuat aliran darah masing-masing melonjak sampai ke ubun-ubun.

Namun Ki Rangga tidak mau larut dalam angan angannya. Setelah menyerahkan anaknya, dengan bergegas Ki Rangga pun segera mendekati ranjang Sekar Mirah.

Tidak banyak waktu yang diperlukan bagi Ki Rangga untuk menyadarkan istrinya. Begitu Sekar Mirah mulai membuka kedua matanya, pertama kali yang dilihat justru suami tercinta yang telah lama dirindukannya.

“Kakang!” jerit Sekar Mirah bercampur isak tangis sambil bangkit dari tempat tidurnya dan memeluk Ki Rangga seerat-eratnya. Ki Rangga pun membalas pelukan istrinya sambil berbisik perlahan, “Sudahlah, Mirah. Semuanya akan baik-baik saja. Di sini juga hadir orang-orang tua untuk membantu mengatasi keadaan yang baru saja terjadi.”

Bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa, Sekar Mirah pun terlonjak kaget sambil melepaskan pelukannya.

“Kakang, Bagus Sadewa?!” jeritnya kemudian sambil pandangan matanya nanar menatap suaminya.

Namun   dengan cepat Pandan Wangi yang sedang menggendong

Bagus Sadewa segera mendekat sambil berkata, “Mirah. Ini anakmu. Semuanya baik-baik saja.”

Begitu Sekar Mirah melihat Bagus Sadewa dalam gendongan Pandan Wangi, dengan cepat dia segera meloncat turun dari ranjang dan menubruk mbokayunya.

“Anakku? Engkau selamat, ngger!” teriak Sekar Mirah dengan suara mirip antara tangis dan tawa bahagia.

Pandan Wangi yang tanggap segera melepaskan gendongannya dan menyerahkan Bagus Sadewa kepada Sekar Mirah.

Alangkah bahagianya Sekar Mirah menerima anak semata wayangnya. Tak henti hentinya Bagus Sadewa dalam gendongannya itu dicium dengan suka cita dan mengucap syukur ke hadhirat Yang Maha Kuasa. Orang-orang yang berada di bilik itu pun ikut bersuka cita.

“Syukurlah, semuanya telah berlalu,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian sambil melangkah ke dinding bilik dan mengambil tombak pusakanya, “Sebaiknya kita segera kembali ke bilik masing-masing. Sebentar lagi panggilan untuk menunaikan kewajiban akan dikumandangkan. Lebih baik kita bersiap siap.”

Tampak orang-orang di dalam bilik itu terangguk angguk. Rara Wulan segera memberi isyarat kepada Damarpati yang berdiri termangu mangu untuk mengikutinya meninggalkan bilik. Sedangkan yang lain pun telah meninggalkan bilik Sekar Mirah setelah mohon diri kepada Ki Rangga dan Sekar Mirah terlebih dahulu.

“Terima kasih,” berkata Ki Rangga kemudian sambil mengantar orang-orang itu sampai ke depan pintu.

“Jangan lupa Ki Rangga,” pesan Ki Gede Menoreh kemudian sebelum melangkah pergi, “Nanti kita sarapan pagi bersama di ruang tengah. Bukan apa-apa, hanya sebuah ungkapan rasa syukur atas keselamatan yang diberikan oleh Yang Maha Agung kepada kita semua, terutama Ki Rangga dan Bagus Sadewa.”

“Terima kasih Ki Gede. Semoga Yang Maha Agung mengijinkan kita semua untuk berkumpul nanti.”

Orang-orang itu pun tampak mengangguk angguk. Setelah sekali lagi mohon diri, orang-orang itu pun segera melangkah menuju ke bilik masing-masing.

Ketika Ki Rangga kemudian menutup pintu bilik, suara panggilan untuk menunaikan kewajiban pun telah terdengar dari surau yang terdekat memanggil umat manusia untuk bersujud kepada Tuhannya.

Dalam pada itu langit di ufuk timur mulai bercahaya. Burung burung berkicau dengan riang gembira menyambut datangnya sang Surya. Ketika Matahari mulai merambat naik, suasana di ruang dalam kediaman Ki Gede Menoreh pun benar-benar meriah.

Sejenak orang-orang telah melupakan peristiwa di halaman belakang semalam. Sekar Mirah yang mengalami akibat langsung dari hadirnya orang yang menyebut dirinya Maharsi itu pun telah mencoba melupakan peristiwa itu.

Dengan Bagus Sadewa dalam gendongannya, tampak wajah Sekar Mirah berbinar binar mendampingi suami tercinta makan pagi bersama. Ki Gede Menoreh yang didampingi Pandan Wangi tampak sangat menikmati sarapan pagi itu. Beberapa kali dia tampak meminta anak perempuan satu satunya itu untuk menambahkan lauk dan sayur di piringnya. Sedangkan Ki Gede Matesih tampak ikut bersemangat didampingi Ratri, puteri Matesih yang mulai beranjak dewasa dengan segala kelebihannya.

Duduk di sebelah Sekar Mirah, Rara Wulan dan Damarpati. Kedua perempuan itu tampak menikmati makanan mereka dengan menundukkan wajah dalam-dalam. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam benak mereka.

Sedangkan Kiai Sabda Dadi yang duduk di sebelah kanan Ki Rangga tampak sesekali mengangguk anggukkan kepalanya mendengar cerita Ki Rangga. Kedua orang itu sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang sangat menarik perhatian mereka berdua.

“Jadi perintah Ki Patih sudah jelas,” berkata Kiai Sabda Dadi menanggapi cerita Ki Rangga, “Trah Sekar Seda Lepen harus dihukum atas perbuatannya yang kaduk wani kurang deduga itu.”

“Benar, Kiai,” sahut Ki Rangga sambil menelan makanan di dalam mulutnya terlebih dahulu, “Setelah Penobatan Raja baru Mataram, aku diperintahkan untuk mencari kawan-kawan yang dapat diajak menyelidiki ke lembah antara Merapi dan Merbabu. Menurut keterangan Ki Jayaraga dan Glagah Putih yang sempat mencuri dengar pembicaraan mereka, Trah Sekar Seda Lepen akan menggeser para pengikutnya ke lembah antara Merapi dan Merbabu untuk bergabung dengan padepokan Panembahan Agung.”

Terlihat kepala Kiai Sabda Dadi terangguk angguk. Tanpa sadar dia berdesis, “Seandainya aku masih muda, tentu sebuah petualangan dan tantangan yang sangat menarik.”

Namun Kiai Sabda Dadi menjadi terkejut ketika Ki Rangga justru telah tersenyum ke arahnya sambil berkata, “Memang pilihan pertama jatuh kepada Kiai Sabda Dadi. Aku mohon sudilah kiranya Kiai Sabda Dadi membantu aku untuk melaksanakan tugas dari Ki Patih ini.”

Untuk sejenak Kiai Sabda Dadi justru bagaikan membeku di tempatnya. Pandangan matanya kosong menatap ke arah Ki Rangga. Terdengar suaranya perlahan dan sedikit meragu, “Mengapa mesti aku?”

“Ya, aku sudah memikirkannya masak-masak Kiai,” bisik Ki Rangga cepat sambil kembali tersenyum, “Ki Waskita dan Ki Jayaraga sudah terlalu sepuh, biarlah mereka berdua istirahat. Sedangkan Glagah Putih sedang sakit, aku sudah mengijinkannya kepada Ki Patih untuk menyembuhkan luka dalamnya sambil beristirahat di Menoreh.”

“Kapan Glagah Putih akan kembali?” bertanya Kiai Sabda Dadi kemudian dengan nada sedikit keras yang membuat Rara Wulan mengangkat wajahnya.

“Aku kira dalam dua tiga hari ini mereka akan kembali ke Menoreh,” jawab Ki Rangga sambil mengambil mangkuk dan meneguk isinya, “Semoga perjalanan mereka aman dan selamat sampai di Menoreh.”

Bagaikan diguyur banyu sewindu hati Rara Wulan mendengar keterangan Ki Rangga. Diam-diam istri Glagah Putih itu segera memanjatkan doa agar mereka berdua segera dapat berkumpul kembali di Menoreh.

“Ki Rangga,” bertanya Kiai Sabda Dadi kemudian, “Menurut pertimbangan Ki Rangga, siapa lagi yang akan Ki Rangga ajak?”

Tampak Ki Rangga menarik nafas panjang. Tanpa sadar Ki Rangga berpaling ke sebelah kirinya. Tampak Sekar Mirah sedang menyuapi Bagus Sadewa dengan nasi bercampur lauk yang sudah dilembutkan terlebih dahulu. Akhirnya Ki Rangga menggeleng sambil menjawab, “Aku belum tahu. Memang Pangeran Pati pada saat aku diperintahkan menghadap telah mengajukan sebuah nama, namun aku masih harus menanyakan kesanggupannya untuk menjadi bagian dari rombongan yang akan mendahului ke lembah antara Merapi dan Merbabu.”

Tampak untuk kesekian kalinya kepala Kiai Sabda Dadi terangguk angguk. Tiba-tiba terbersit sebuah pemikiran dalam benak kakek Damarpati itu. Tanyanya kemudian, “Ki Rangga, apakah tidak sebaiknya Ki Rangga membawa serta Nyi Sekar Mirah?”

Sekar Mirah yang berada di samping kiri suaminya tampak terkejut. Walaupun pertanyaan itu tidak ditujukan kepada dirinya, namun Sekar Mirah merasa perlu untuk meluruskan.

Jawab Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum ke arah kakek Damarpati itu, “Tidak Kiai, aku tidak akan kemana-mana. Perjalanan kakang Agung Sedayu bukan tamasya keluarga. Aku lebih baik di rumah saja menjaga Bagus Sadewa.”

Ki Rangga tersenyum mendengar jawaban istrinya itu. Kiai Sabda Dadi pun ikut tersenyum.

“Bagaimana dengan Nyi Pandan Wangi?” tiba-tiba Kiai Sabda Dadi berbisik perlahan sehingga hanya kedua orang itu yang mendengar. Jantung Ki Rangga pun berdesir mendengar pertanyaan Kiai Sabda Dadi. Hal yang sama pernah diutarakan oleh Pangeran Pati.

“Aku harus menanyakan langsung kepadanya,” bisik Ki Rangga tak kalah lirihnya, “Selain itu aku juga harus meminta pertimbangan Ki Gede Menoreh jika ingin mengajak Nyi Pandan Wangi.”

Tampak Kiai Sabda Dadi menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa sebagai orang tua, panggraitanya seolah melihat hubungan yang rumit di masa lalu antara kedua orang itu.

“Ki Rangga” berkata Kiai Sabda Dadi selanjutnya juga masih dengan berbisik, “Jika menurut Ki Rangga Nyi Pandan Wangi dilibatkan, Ki Rangga harus mencari lagi seorang perempuan sebagai kawan Nyi Pandan Wangi sehingga kita tidak menjadi ewuh pekewuh.”

Ki Rangga mengerutkan keningnya sejenak. Satu persatu Ki Rangga mencoba menelisik perempuan-perempuan yang ada di Perdikan Menoreh yang mempunyai kemampuan olah kanuragan. Ketika tanpa sadar Ki Rangga berpaling ke arah Rara Wulan yang menundukkan kepala, Ki Rangga pun menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian dengan tetap berbisik, “Sepertinya tidak ada lagi yang dapat menemani Nyi Pandan Wangi seandainya dia dilibatkan.”

Kiai Sabda Dadi yang tidak banyak mengetahui keadaan Perdikan Menoreh pun hanya dapat termangu-mangu sambil pandangan matanya menerawang ke langit-langit.

Tiba-tiba Ki Rangga teringat akan ayah dan anak perempuannya yang tinggal di Menoreh setelah berlalunya hiruk pikuk yang dibuat oleh Ki Saba Lintang dan pengikutnya. Ayah dan anak perempuannya yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang cukup tinggi, Empu Wisanata dan Nyi Dwani.

“Aku akan mencoba menghubungi mereka,” membatin Ki Rangga tanpa menyampaikan terlebih dahulu kepada Kiai Sabda Dadi. Jika memang Pandan Wangi tidak berkeberatan untuk dilibatkan, tentu Nyi Dwani akan menjadi kawan yang baik selama dalam perjalanan.

“Lima orang,” tanpa sadar Ki Rangga menghitung dalam hati jumlah orang-orang yang akan dilibatkan termasuk dirinya. Namun ketika terpandang olehnya anak gadis semata wayang Ki Gede Matesih, jantung Ki Rangga pun berdesir tajam. Ki Rangga sadar bahwa pada awalnya Ratri ingin berguru kepada istrinya. Namun terlihat anak gadis Matesih itu lebih cenderung akrab dengan Pandan Wangi.

“Seandainya Ratri harus ikut karena menjadi murid Pandan Wangi, tidak akan banyak menimbulkan masalah,” membatin Ki Rangga sambil menyelesaikan sarapan paginya. Orang-orang di ruang dalam itu pun tampak sudah hampir menyelesaikan sarapan pagi mereka.

“Silahkan, silahkan,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian mempersilahkan para pembantu perempuan untuk membersihkan tempat dan membawa peralatan makan yang kotor kembali ke dapur. Tampak Rara Wulan dan Damarpati ikut membawa mangkuk-mangkuk kotor itu ke dapur. Keduanya pun kemudian tidak ikut kembali duduk di ruang tengah. Agaknya Rara Wulan dan Damarpati memilih kembali ke bilik mereka.

“Ki Rangga,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian setelah para pembantu perempuan itu kembali ke dapur, “Kami sudah mendengar tentang jatuhnya perguruan Sapta Dhahana dari Ki Bango Lamatan, namun kami belum mengetahui rencana apa yang akan dibuat oleh Ki Patih Mandaraka dalam waktu dekat ini sehubungan dengan bergabungnya Trah Sekar Seda Lepen dan para pengikutnya di lembah antara Merapi dan Merbabu.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sadar dia berpaling sekilas ke arah Ki Gede Matesih, namun tampaknya kepala perdikan Matesih itu tidak sedang memandangnya.

“Ki Gede,” berkata Ki Rangga kemudian sambil membetulkan letak duduknya, “Pada saat aku menghadap, Ki Patih telah memberikan perintah untuk menyiapkan pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh dalam waktu dekat ini. Demikian juga Ki Patih memerintahkan untuk memberitahu para pengawal perdikan Menoreh untuk bersiap siap membantu Mataram menghukum orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen dan para pengikutnya.”

Tampak kepala orang-orang yang hadir di ruangan itu terangguk angguk.

Tiba-tiba Kiai Sabda Dadi yang duduk di sebelah kanan Ki Rangga menyahut, “Tentu pasukan dari berbagai daerah akan dilibatkan, seperti Prambanan, Sangkal Putung, Mangir dan daerah-daerah lainnya.”

“Bagaimana dengan pasukan di Jati Anom?” sela Ki Gede Menoreh sambil berpaling ke arah Ki Rangga.

Ki Rangga mengangguk sambil menjawab, “Tentu saja Ki Gede. Demikian juga pasukan yang ada di Ganjur. Pasukan yang dipimpin oleh seorang lurah yang sangat aku kenal, seorang sahabat lama, Ki Lurah Sabungsari.”

“Tentu akan menjadi pasukan yang sangat besar,” berkata Ki Gede Matesih yang sedari tadi hanya menjadi pendengar yang baik, “Tentu diperlukan tempat yang memadai sebelum mengadakan penyerbuan ke lembah antara Merapi dan Merbabu.”

“Jangan lupa ada perdikan Matesih,” sela Ki Rangga cepat yang membuat semua orang berpaling ke arah Ratri dan ayahnya, “Ki Patih telah menetapkan perdikan Matesih akan menjadi pangkalan terakhir untuk berkumpul dan menyusun kekuatan sebelum menuju ke lembah antara Merapi dan Merbabu.”

Tampak kepala semua orang terangguk angguk. Ki Gede Matesih pun membayangkan pasukan segelar sepapan dari berbagai daerah bawahan Mataram beserta prajurit-prajurit dari berbagai kesatuan bergabung di Matesih.

“Tentu memerlukan persiapan yang sungguh-sungguh,” membatin Ki Gede Matesih sambil menarik nafas dalam-dalam.

“Ki Rangga,” bertanya Ki Gede Menoreh kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Kapan kira-kira pasukan itu akan diberangkatkan? Aku memerlukan waktu untuk memberitahu Prastawa agar menyiapkan pasukan pengawalnya.”

“Ki Patih belum menentukan waktunya, Ki Gede,” jawab Ki Rangga, “Ki Patih masih sibuk dengan urusan penobatan raja Mataram yang baru sepeninggal Sinuhun Prabu Panembahan Hanyakrawati. Seharusnya penobatan itu telah berlangsung hari kemarin,” Ki Rangga berhenti sejenak. Tanyanya kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Apakah sudah ada berita dari Kotaraja?”

Semua kepala tampak menggeleng. Jika ada berita dari Kotaraja, apapun berita itu, diperlukan selang waktu sehari atau bahkan lebih untuk sampai di Menoreh. Itu pun jika ada para pedagang keliling yang sempat singgah di Kotaraja dan kemudian membawa berita itu sampai ke Menoreh.

“Baiklah,” berkata Ki Rangga melanjutkan. “Urusan penobatan Raja baru Mataram itu biarlah menjadi urusan Ki Patih dan kita tinggal menerima saja beritanya nanti,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sekarang yang menjadi tugasku selain menyiapkan pasukan khusus, aku ditunjuk kembali untuk menjadi cucuk laku sebelum pasukan Mataram bergerak. Ki Patih telah memberikan tugas kepadaku untuk memilih beberapa orang yang akan bersama sama mengadakan penyelidikan ke lembah antara Merapi dan Merbabu.”

“Agaknya Ki Patih belajar dari perguruan Sapta Dhahana,” Ki Gede Menoreh menyela sambil tersenyum, “Keberhasilan Ki Rangga dan kawan-kawan itu agaknya yang menjadi dasar pemikiran Ki Patih untuk membentuk lagi kelompok kecil petugas sandi yang mumpuni dan sekaligus dapat mrantasi.”

“Ah,” hampir bersamaan Ki Rangga dan Kiai Sabda Dadi berdesah. Sahut Ki Rangga kemudian, “Kali ini tugas kami tidak seperti di Perguruan Sapta Dhahana Ki Gede. Kami hanya bertugas membuka jalan dan kemudian setelah pasukan itu benar-benar berada di depan hidung lawan, kami diberi tugas untuk bergabung.”

Kembali tampak kepala orang-orang yang berada di ruangan itu terangguk angguk. Hanya Sekar Mirah yang tampak menundukkan wajahnya. Hatinya menjadi sedikit galau. Bagaimana pun juga dia baru saja merasakan indahnya kebersamaan dalam keluarga yang utuh. Namun sebentar lagi dia harus kehilangan suaminya lagi untuk waktu yang tak terbatas.

“Sampai kapan kakang Agung Sedayu harus meninggalkan keluarga?” membatin Sekar Mirah sambil menahan hati jangan sampai ada titik air mata yang menetes, “Mungkin jika saatnya nanti kakang Agung Sedayu purna tugas, baru kami dapat merasakan keutuhan sebuah keluarga.”

“Apakah Ki Rangga sudah menjatuhkan pilihan?” pertanyaan Ki Gede Menoreh kemudian telah membangunkan Sekar Mirah dari lamunan.

“Sudah Ki Gede,” jawab Ki Rangga dengan serta merta yang membuat orang-orang dalam ruangan itu terkejut, tak terkecuali Kiai Sabda Dadi.

“Semuanya?” ulang Ki Gede Menoreh dengan nada sedikit meragu.

“Tentu belum Ki Gede,” jawab Ki Rangga cepat, “Aku baru mendapat satu orang yang sudah menyatakan sanggup untuk bergabung.”

Selesai berkata demikian Ki Rangga segera berpaling ke arah Kiai Sabda Dadi yang duduk di sebelah kanannya.

“Ah,” desah Kiai Sabda Dadi sambil tertawa pendek. Lanjutnya kemudian, “Aku menjadi sangat tersanjung untuk ikut membantu Ki Rangga menelusuri lembah, ngarai dan mendaki bukit. Mengunjungi padukuhan-padukuhan terpencil, menerobos hutan serta mengikuti aliran sungai, berjalan di tepian yang berpasir, sesekali mencari ikan dan..”

“Kiai!” potong Ki Rangga cepat, “Kita tidak sedang merencanakan sebuah tamasya!”

“Ah!” orang-orang di dalam ruangan itu tertawa. Kiai Sabda Dadi pun ikut tertawa. Katanya kemudian, “Rasa rasanya aku menjadi muda kembali.”

“Ah,” orang-orang pun tertawa kembali.

“Bagaimana dengan yang lainnya?” bertanya Ki Gede Menoreh selanjutnya setelah tawa orang-orang itu mereda.

Untuk sejenak Ki Rangga termangu mangu. Ketika tanpa sengaja pandangan matanya berbenturan dengan sepasang mata indah namun yang selalu terlihat sayu, jantung Ki Rangga pun berdesir tajam.

Ketika wajah itu pun kemudian tertunduk dengan meninggalkan sekilas senyum yang mengandung seribu makna, Ki Rangga pun menjadi ragu-ragu untuk menyampaikannya.

“Aku akan bertanya sendiri kepada Pandan Wangi,” membatin Ki Rangga sambil mengalihkan pandangan matanya. Sementara orang-orang tampak menunggu jawaban Ki Rangga.

“Ki Gede,” berkata Ki Rangga pada akhirnya, “Aku tidak dapat membawa Ki Waskita dan Ki Jayaraga lagi, karena menurut Ki Patih keduanya sudah terlampau sepuh dan sudah waktunya untuk beristirahat,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sedangkan Glagah Putih mungkin tidak akan aku bawa untuk sementara. Glagah Putih akan berangkat bersama sama pasukan khusus yang berada di Menoreh.”

“Jadi, siapa lagi yang akan menemani Ki Rangga?” bertanya Ki Gede Menoreh seolah olah tidak sabar lagi.

Tampak Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu. Ketika sekilas dia mencuri pandang ke arah puteri Menoreh itu, tampak Pandan Wangi hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Jawab Ki Rangga kemudian sambil berpaling ke arah Ki Gede Menoreh, “Aku mempunyai dua orang calon yang mungkin dapat menjadi pertimbangan bagi Ki Gede dan semua yang hadir di tempat ini,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Di tanah perdikan Menoreh ini, tinggal sebuah keluarga kecil, ayah dan anak perempuannya. Mereka memang belum lama tinggal di Menoreh, namun kemampuan ilmunya dan kesetiaannya kepada Mataram sudah tidak diragukan lagi.”

Ketika semua orang sedang mengingat ingat keluarga kecil yang dimaksud oleh Ki Rangga itu, tiba-tiba saja terdengar Pandan Wangi membuka suara, “Empu Wisanata dan putrinya Nyi Dwani.”

“O,” hampir semua orang yang berada di ruangan itu berdesah sambil mengangguk anggukkan kepala mereka kecuali Ki Gede Matesih dan Ratri.

“Aku setuju,” tiba-tiba Ki Gede Menoreh memberikan pendapatnya, “Kedua ayah dan anak itu adalah petualang-petualang sejati, sebelum akhirnya keduanya memutuskan untuk menetap di Menoreh.”

“Tetapi mungkin akan timbul permasalahan lain jika kedua orang itu dilibatkan,” sahut Ki Rangga yang membuat orang-orang bertanya tanya. Lanjut Ki Rangga kemudian, “Aku tidak dapat membawa kedua orang itu jika Nyi Dwani tidak mempunyai kawan. Harus ada seorang perempuan lagi yang akan menjadi kawan Nyi Dwani selama dalam perjalanan.”

Serentak semua mata tertuju ke arah Sekar Mirah. Namun ternyata Sekar Mirah justru telah menggeleng sambil tersenyum. Jawabnya kemudian, “Alangkah senangnya ikut berpetualang bersama-sama, namun kewajibanku sekarang adalah menjaga dan membesarkan Bagus Sadewa,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian sambil tersenyum dan berpaling ke arah Pandan Wangi, “Entah kalau mbokayu Pandan Wangi.”

“Aku?” seru Pandan Wangi dengan serta merta sambil pandangan matanya tajam menatap Sekar Mirah. Sekar Mirah pun membalas dengan sebuah senyuman yang sangat manis.

“Aku juga mempunyai kewajiban menjaga dan membesarkan Bayu Swandana,” berkata Pandan Wangi kemudian namun yang segera disambut sebuah tawa oleh ayahnya.

“Sudahlah Wangi,” berkata ayahnya kemudian sambil berpaling dan tersenyum ke arah Pandan Wangi, “Ada aku yang akan mengasuh dan mendidik Bayu Swandana. Percayakan anakmu kepadaku. Kelak jika engkau sudah kembali, engkau akan heran mendapatkan anakmu sudah pandai memainkan tombak pendek untuk mengusir para penjahat yang ingin mengganggu tanah perdikan ini.”

“Ah,” orang-orang pun tertawa tak terkecuali Pandan Wangi.

“Ki Gede,” berkata Ki Rangga kemudian setelah tawa orang-orang itu mereda, “Pada saat aku di Kotaraja dan diperintahkan menghadap Pangeran Pati, beliau sudah mengusulkan sebuah nama untuk ikut terlibat dalam rombongan kecil yang akan melawat ke lembah antara Merapi dan Merbabu, “Ki Rangga berhenti sejenak, sementara orang-orang terlihat menjadi sedikit tegang. Lanjut Ki Rangga kemudian, “Dan Pangeran Pati telah menyebut nama Pandan Wangi.”

bersambung ke bagian 2

37 Responses

  1. Trimakasih mbah semakin seru sj, itu cover jilid 31 kayaknya jawaban teka teki penobatan raja baru, ditunggu kelanjutannya.
    Sehat slalu untuk mbah.

  2. Ngenteni jilid telung puluh siji, bundel pertama . . .

  3. semoga bukan kanjeng sunan…karena kanjeng sunan melarang ki rangga mengurai isyarat,jadi tidak baik jika kanjeng sunan sudah mengetahui rencana maharsi menculik bagus sadewa dari isyarat yg di dapat kanjeng sunan sendiri

  4. Cerita semakin menarik untuk dibaca.
    Saya berharap ada kelanjutannya.
    Terus berkarya bang.
    Sukses selalu.
    Salam rahayu.
    From kadipaten ponorogo

  5. Cerita semakin menarik untuk dibaca.Trimakasih mbah , ditunggu kelanjutannya.Sehat slalu untuk mbah.Saya berharap ada kelanjutannya.Terus berkarya ,Sukses selalu.

  6. okey menunggu jilid 31 , terima kasih kelanjutannya

  7. Seharusnya sudah diunggah bundel 1 jilid 31..
    Kayaknya rame pertarungan AS lawan Maharsi..
    Atau langsng digabuhg bundel 2 dmn PW dan SM ketemu AS dan wasiat Swandaru dibicarakan…
    Ah ..ini barangkali…

    • Kayanya bukan Ki RAS yg ketemu maharsi… bisa murid Kanjeng sunan yg lain yang mirip Kyai Gringsing… hanya 3 orang yg mempunyai kemampuan sama atau d atas Ki RAS satunya lg Ki Patih… kita tunggu saja sore ini hehehe

  8. bagaimana niiih kabar Ki RAS , waah dah gak sabar niiih

  9. Bundel STSD-31 bagian pertama sudah diunggah.

    Yang menantinya, monggo merapat ke tempatnya.

    • matur nuwun

    • Suasana semakin panas juga semakin dingin…
      Suasana semakin panas dimana tugas Ki.Ras mengempur gerombolan trah seda lepen yg masih mengaku trah rembesing madu kelanceng….dan..
      Semakin dingin karena Ki.Ras…begitu digelandoti SM dengan pelukan mesra serta kerinduan semakin dalam..malah Ki.Ras menolak secara halus…Mirah .
      .hari ini belum waktunya untuk bersenang senang ria untuk melepas kepenatan ini karena tugas belum selesai Mirah…saya akan menemui Maharsi tentang murid baru pengganti Anggara yg terbunuh ditangan GP..sabar ya Mirah ..ucapan Ki.RAS dgn Sareh…suatu saat kebahagian ini akan kita dapat TDK hanya dari kamu Mirah.
      Benar kakang..!!! Jawab Mirah..masih ada PW dan RA yg perlu diluruskan…
      Herrmm guman Ki.RAS..memang kamu Mirah klau perihal lurus melurus kan engkau Mirah lebih piawai ….aku takluk jawab Ki.Ras pendek..
      Yaaa bereslah klau urusan yg satu itu..heeeem..desah Sekar Mirah menahan gejolak hatinya yg sdh di ubun ubun…
      tapi untuk lebih jelasnya tunggu wedaran MB.man sore ini..
      Tuuuuuuiiiiiiiit
      Tuuuuuuiiiiiiiit
      Tuuuuuuiiiiiiiit

      • Apakah RAS akan berubah jadi TAS…
        Menilik Pangeran Pati belum jumeneng nata??

  10. Mantap sanget mbah ditenggo kelanjutanipun

  11. Semakin penasaran ngikuti petualangan RAS
    Semoga tetap sehat selalu mbah

  12. Kapan mbah kelanjutannya bagian 2 ?
    Saya semakin penasaran aja ceritanya.
    Thank for ki Mandaraka

  13. Di tunggu terus lho kelanjutan ceritanya!

  14. Mantab jiwa mbah … matursuwun

  15. mbah sehat? semoga sehat selalu, jk kmrn kmrn ada yg di uploads setiap 15 hari sekali rata rata, jk waktu dekat ini blm ada upload an, moga tdk ada kendala apapun dan tetep sehat selalu

  16. Bagian dua sudah siap upload, tetapi dengan seting WordPress yang baru, Satpam menjadi tidak bisa upload.

    Mohon bersabar, Satpam masih mempelajari, mengapa tidak bisa upload naskah di halaman

  17. Kapan stsd 31 bagian selanjutnya

  18. Jangan terlalu sering memunculkan karakter Sunan Muria, mbah. Biarkan tetap jadi kisah petualangan ilmu kanuragan dari AS dan kawan-kawan saja. Biar tetap menarik kisahnya..

    • Kalau saya silahkan berimajinasi sendiri .. tdk usah menurut kata pembaca.. ben surprise…..

  19. Alhamdulillah…… bundel bagian 2 sudah berhasil ditempelkan di halamannya.

    Yang menunggu lanjutan RAS silahkan merapat

    • Kangen sama Glagah Putih sudah lama gak muncul….kayanya lebih seru kalo ada GP dan RAS ketika datang ke undangan perguruan Wirapati karena akan ada perang tanding sebagai perkenalan dan penjajagan … hehehe

  20. Semakin penasaran mengikuti alur cerita ki rangga , terus berkarya mbah , semoga tetap diberi rohmatNYA dan tetap sehat selalu.
    Salam rahayu dari kadipaten ponorogo

  21. Sabar menanti bagian ke 3

  22. Ayo bab 3 gek menthungula

  23. Bundel 2 kan sudah selesai to…

  24. 👍👍👍👍👍

  25. Ini SDH tgl 15 April. Apa sudah ada bundel ke 3 nyaa? Takut kliwat. Kayanya ini akan jadi cerita tanpa akhir Krn kesian sama para pembaca..😂😂

  26. semangat mbah

  27. Alahmdulillah…. bundelketiga sudah dimuat dihalamannya.

    Yang menanti STSD-31 bundel ketiga, silahkan merapat di halamannya.

    Nuwun

  28. terimakasih, sehat selalu tetap semangat

  29. Agung S yg berpangkat Rangga, bukanlah jabatan yg rendah, yg membawahi sebuah kesatuan pasukan khusus, tetapi begitu mudahnya diperdaya orang yg tdk dikenal, seperti kerbau dicocok hidungnya dan harus mengikuti seseorang dgn alasan yg sepele.ketika AS sdg dlm perjalanan pulang dari barak….

Leave a reply to hasyim Cancel reply